Secercah harapan yang Ia tujukkan, diperuntukkan bagi hewan dan manusia.
Sama halnya ketika Aku memalingkan pandanganku kepada matamu, kasih.
Pikatan tak terlihat di antara mata kita mendorongku untuk mencintai hidup.
Karena hidup di dunia memang sementara, tetapi kitakan abadi dalam cinta.
Oh... si pemilik senyum tipis nan menggoda, di antara bulan dan bintang yang paling terang sekalupun, ciumanmu senantiasa teringat dalam mimpi sang perindu ini.
Birahi muncul dalam pekat malam senin di burjo yang menjadi kerinduan sang pelantur.
Gerimis hujan membasahi jalan-jalan kota Jogja laksana tangismu di jendela coklat yang berteralis besi.
Jika boleh sang perindu ini meminta, Aku ingin menghabiskan sisa umur bumi untuk terus bersamamu, merangkai angin, merajut pelangi, dan menenun jagat raya.
Oh... gadis bersepatu biru, sebegitu indahnya matamu sehingga tak mampu Aku berlama-lama menatap indahnya, seolah-olah Tuhan hadir dalam kilau air mata yang mulai turun di pipimu yang merona.
Jalan-jalan di Napoli seakan tak mampu melupakan bayang-bayang dirimu balik buku-buku perpustakaan UGM.
Terbang ke New York, melihat patung liberty, kemudian menangis.
Teringat pidatomu saat kesal melihat Fadli Zon di Metro TV.
Apanya yang merdeka! Wakil rakyat perilakunya seperti orang mati yang tak pantas dilayat.
Berlayar ke Rusia, teringat Stalin dan Vladimir Putin, seteguk vodka lalu tersenyum.
Terkenang laku manjamu menggelayut dan memanyunkan bibir merah mudamu minta dibelikan coklat.
Oh... gadis metafisikku, adakah kamu di antara besarnya UGM?
Oleh: Muhammad Nur Alam Tejo dan Aldo Muhes
Sama halnya ketika Aku memalingkan pandanganku kepada matamu, kasih.
Pikatan tak terlihat di antara mata kita mendorongku untuk mencintai hidup.
Karena hidup di dunia memang sementara, tetapi kitakan abadi dalam cinta.
Oh... si pemilik senyum tipis nan menggoda, di antara bulan dan bintang yang paling terang sekalupun, ciumanmu senantiasa teringat dalam mimpi sang perindu ini.
Birahi muncul dalam pekat malam senin di burjo yang menjadi kerinduan sang pelantur.
Gerimis hujan membasahi jalan-jalan kota Jogja laksana tangismu di jendela coklat yang berteralis besi.
Jika boleh sang perindu ini meminta, Aku ingin menghabiskan sisa umur bumi untuk terus bersamamu, merangkai angin, merajut pelangi, dan menenun jagat raya.
Oh... gadis bersepatu biru, sebegitu indahnya matamu sehingga tak mampu Aku berlama-lama menatap indahnya, seolah-olah Tuhan hadir dalam kilau air mata yang mulai turun di pipimu yang merona.
Jalan-jalan di Napoli seakan tak mampu melupakan bayang-bayang dirimu balik buku-buku perpustakaan UGM.
Terbang ke New York, melihat patung liberty, kemudian menangis.
Teringat pidatomu saat kesal melihat Fadli Zon di Metro TV.
Apanya yang merdeka! Wakil rakyat perilakunya seperti orang mati yang tak pantas dilayat.
Berlayar ke Rusia, teringat Stalin dan Vladimir Putin, seteguk vodka lalu tersenyum.
Terkenang laku manjamu menggelayut dan memanyunkan bibir merah mudamu minta dibelikan coklat.
Oh... gadis metafisikku, adakah kamu di antara besarnya UGM?
Oleh: Muhammad Nur Alam Tejo dan Aldo Muhes
BalasHapusSekamku dalam Diammu
Buat: Nadra...
Maaf aku tak bisa menghadiri pernikahanmu!
"Verbrennen musst du dich wollen in deiner eignen Flamme: wie wolltest du neu werden, wenn du nicht erst Asche geworden bist!"
(Friedrich Nietzsche)
Menggigil aku: diammu meremas penuh semua pejuh dan memeras peluh di sekujur tubuh
Lalu waktu menghangatkan ingatan akanmu, untuk disajikan lagi saat sarapan di atas piring-piring sunyi
Menggigil aku: gesekan perkenalan kita percikan api, perlahan membakar diriku, mencekam, menerkam, menyekam dalam diam
Lalu waktu menaggalkan tanggal demi tanggal menghapus khayal untuk tidur satu bantal.
Karena lidah tak bisa memanjang, aku menjulur-julur menjilat gincu-merahmu serta bibir-kumisku mengulum bibir-diammu: mencoba mencari perasaan yang kau sembunyikan
Lama masanya, reruntuhan tanya perlahan jatuh dan meretakan batok kepalaku.
sebuah ancaman dari bahasa lain yang tak kalah diamnya darimu memaksaku membakar diri: menyadarkanku akan hiasan ukiran di kursi pelaminanmu
Bagaimana bisa aku berinkarnasi tanpa kubakar diri?
bagaimana lagi kusapa engkau dengan salam jika aku tak lebih dulu menyekam. (Seperti berabad-abad diammu!)
Kini, dara yang diharap telah tiada, seseorang mematahkan ranting-ranting yang tumbuh di hatiku: melemparkannya pada tungku penyesalan.
Aku menyesal mengenalmu!
Bagaimana bisa aku berinkarnasi tanpa membakar diri?
Aku diam, pamitan... lihatlah sekam!
Yogya-Bandung, 27 Maret 2016
Terimakasih rick. puisi yang indah. Saya post di http://neutronmaxi.blogspot.com/2016/04/sekamku-dalam-diammu.html
Hapus