Terdapat dua perbedaan yang mencolok
antara filsafat barat abad pertengahan dengan filsafat barat modern. Pertama
terletak pada kondisi sosial-politik pada periode tersebut. Kedua terletak pada corak atau problem
fundamental yang hendak dikaji atau dijawab.
1.
Kondisi
Sosial-Politik
1.1
Abad
Pertengahan (400 – 1500 SM)
Abad pertengahan adalah zaman dimana
pihak gereja memiliki kekuasaan tertinggi dalam segala hal. Kondisi
sosial-politik pada abad pertengahan sangat memprihatinkan. Banyak buku-buku
filsafat zaman Yunani Kuno yang ditemukan kembali di zaman ini, tetapi banyak
diantaranya yang diberangus, karena dinilai pemikiran kaum kafir.[1]
Sehingga, filsafat pada zaman ini hanya berfungsi sebagai alat untuk pembenaran
atau justifikasi ajaran agama.[2]
Filsafat hanya diterima ketika mendukung ajaran gereja.
Dapat kita kategorisasi abad
pertengahan sebagai zaman dimana kebebasan berpikir dipangkas.[3]
Bagaimana tidak, kekuasaan gereja yang
sangat besar dan kuat bukan hanya menghambat perkembangan filsafat, namun
begitu juga dengan ilmu pengetahuan. Tidak dimungkinkan adanya pengetahuan yang
bertentangan dengan gereja. Teori Kopernikus (1473-1543) pun ditentang oleh
gereja.[4] Ini dikarenakan teori tersebut bertentangan dengan ajaran dan doktrin gereja.[5]
Sehingga, Kopernikus harus menahan diri untuk tidak mempublikasikan hasil
temuannya tersebut.
1.2
Modern
(1600 – 1900)
Zaman modern dimulai paruh kedua
abad ke-16 masehi, setelah didahului oleh Gerakan Renaissance[6]
dan Humanisme[7] di
Eropa Barat.[8] Gerakan
tersebut merupakan reaksi terhadap kekuasaan gereja. Sebagai upaya melepaskan
diri dari kekangan ajaran dan doktrin gereja, membuat mereka menggali kembali
pemikiran karya filsuf-filsuf dari zaman Yunani Kuno. Pada zaman ini, keadaan
dimana kekuasaan gereja telah hancur menyebabkan aktivitas berpikir pada
periode ini sangatlah tinggi dan menghasilkan banyak karya-karya filsafat yang
baru hingga ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat.[9]
2.
Corak atau Problem Fundamental
2.1
Abad
Pertengahan
Dalam bidang filsafat, abad
pertengahan mendapat pengaruh yang sangat besar dari kondisi sosial-politik
pada zaman itu. Pada zaman ini filsafat seakan dijadikan alat untuk memperkuat
kekuasaan gereja. Problem yang di bahas pada zaman ini adalah hal-hal yang
berhubungan dengan keyakinan[10]
dengan rasio, keberadaan dan kesatuan Tuhan, teologi dan metafisika, dan
persoalan-persoalan epistemologis seperti pengetahuan mengenai yang universal
dan individual.[11]
2.2
Modern
Dalam bidang filsafat pada zaman ini
justru muncul kecenderungan untuk menggali akar-akar pengetahuan.[12]
Pada zaman ini ilmu-ilmu alam[13]
berkembang pesat. Ini mendorong para filsuf untuk mempertanyakan problem
fundamental dalam bidang epistemologi.[14] Berkembangnya ilmu-ilmu alam tersebut juga mendorong para filsuf untuk
bertanya tentang hakikat manusia.[15]
[1] Abidin, Zainal. 2014. Pengantar Filsafat Barat. Cetakan ketiga.
Jakarta: Rajawali Pers. hal. 106.
[4] Teori Kopernikus
selanjutnya biasa disebut dengan “Revolusi Kopernikan” atau bisa juga “Heliosentris”. Kopernikus menemukan
bahwa matahari adalah pusat dari alam semesta. Semua planet mengelilingi
matahari, termasuk bumi. (Ibid. hal.
107.)
[5] Teori “Geosentris”
dimana bumi adalah pusat alam semesta dan semua planet mengelilinginya,
termasuk matahari. (Loc. cit.)
[6] Gerakan pencerahan, atau
di Jerman lebih dikenal dengan nama Aá¹»fklarung “Revolusi Pendidikan”.
[7] Gerakan kemanusiaan,
penentangan terhadap sikap gereja yang semena-mena dalam memberikan hukuman.
Seperti hukuman penjara kepada Galileo Galilei (1564-1642). (Ibid. hal. 90.)
[12] Maksud akar-akar
pengetahuan disini adalah epistemologi. Itulah mengapa teori epistemologi
muncul pada zaman ini. Mungkin dikarenakan atas kesadaran untuk melepaskan diri
dari ajaran dan doktrin gereja. (Ibid.
hal. 111.)
[14] Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah sebetulnya pengetahuan itu? Dari mana sebenarnya sumber
pengetahuan? Apakah pengetahuan bersumber dari pengalaman atau rasio? Pertanyaan tersebut memunculkan aliran
rasionalisme dan empirisme. (Ibid. hal.
112.) Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan didapat hanya melalui
akal. (Ibid. hal. 46.) Sedangkan
empirisme mengajarkan bahwa pengetahuan didapat hanya melalui pengalaman. (Ibid. hal. 47.)
[15] Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah manusia itu merupakan materi (alam fisik) atau berupa
jiwa? Apakah proses kimiawi dan gerak mekanis yang terjadi pada alam juga
terjadi dalam diri manusia? Atau manusia adalah pengecualian, sehingga tidak
bisa dikenai proseskimiawi dan mekanis seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menimbulkan berbagai macam jawaban. Materialisme mengajarkan bahwa
manusia pada dasarnya adalah materi, jadi tidak berbeda dari materi-materi lain
yang ada dalam alam semesta. Sebaliknya, idealisme mengajarkan bahwa manusia
bukanlah materi. Melainkan jiwa yang merupakan intisari manusia. Sehingga,
semua gerak-gerik badan manusia adalah bersumber dari kekuatan yang bersifat
rohani, yakni Yang Ilahi dan jiwa manusia. (Ibid.
hal. 112.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar