Terdapat dua definisi filsafat nusantara. Pertama adalah sekumpulan filsafat lokal yang terletak pada wilayah Indonesia pada masa lampau. Kedua adalah sintesis dari sekumpulan filsafat lokal tersebut. Dalam perkembangannya, filsafat nusantara mencoba untuk mengumpulkan terlebih dahulu filsafat lokal dan tujuan akhirnya adalah sintesis dari filsafat lokal yang telah dikumpulkan secara komprehensif.
Pada awal perumusan filsafat nusantara, terdapat perdebatan dalam penamaannya. Pihak pertama menamai filsafat Indonesia, dengan argumentasi bahwa filsafat lokal yang dikaji terdapat dalam wilayah Indonesia pada masa kini. Kemudian pihak kedua mengkritik hal tersebut karena filsafat lokal eksis sebelum Indonesia eksis, sehingga kata Indonesia tidaklah cocok. Akhirnya pihak kedua memberi alternatif pilihan yaitu filsafat nusantara dengan argumentasi filsafat lokal eksis sebelum Indonesia eksis yaitu masih bernama nusantara. Dengan perdebatan yang panjang, muncullah suatu sintesis yaitu memakai nama filsafat nusantara namun dengan batasan wilayah Indonesia sekarang, sehingga maksud nusantara disini hanya sebagai penanda mencakup filsafat lokal yang eksis sebelum Indonesia eksis.
Ciri Khas Filsafat Nusantara
Terdapat empat ciri khas filsafat nusantara, yang pertama adalah berkaitan dengan hal-hal adi kodrati atau supranatural. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan berbagai konsep filsafat lokal seperti pepatah dari Minang yaitu “Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabulloh” yang berarti adat berlandaskan dari hukum dan hukum berlandaskan dari kitab Tuhan, dimana pepatah tersebut memakai konsep adikodrati yaitu Tuhan. Bukti lain yaitu terdapat banyak konsep-konsep ketuhanan atau adikodrati dalam filsafat lokal seperti “Mula Jadi Na Bolon” pada suku Batak, “Hyang Widhi, Hyang Wisesa dan Hyang Sukma” dalam suku Jawa, “Widhi Wase” dalam suku Bali.
Ciri khas yang kedua adalah berhubungan tentang hal yang menyangkut alam semesta. Hal yang membuktikan adalah seperti pada suku Jawa yaitu pepatah “Hamemayu hayuning bhawana” yang berarti hidup harus memelihara alam semesta, penamaan sesuatu seperti “Sri Sultan Hamengku bhuwana” yang berarti sultan agung yang mengayomi alam semesta, penamaan lain seperti “Paku Alam” yang berarti patokan, panutan, yang memberi contoh bagi alam semesta. Bukti lainnya terdapat pada konsep Pangadereng yaitu konsep yang mengatur interaksi antara manusia dengan alam, sesama, dan Tuhan.
Ciri khas ketiga adalah berorientasi pada tujuan akhir (dunia setelah dunia ini) yang lebih berbobot dari dunia ini. Contohnya adalah pepatah jawa yaitu “Urip iki mung mampir ngombe” yang berarti hidup ini hanyalah seperti mampir minum sehingga orientasi hidup bukan terletak pada dunia ini, namun setelah dunia ini.
Ciri khas keempat adalah menonjolkan rasa kebersamaan daripada sifat individualis. Bukti nyata terdapat pada konsep “Dahlian Natolu” pada suku Batak yang menjelaskan bahwa dalam mengambil suatu keputusan seseorang harus melibatkan (pendapat) orang lain di dalamnya. Bukti lainnya terdapat pada pepatah suku Minang “Nan tuo dihormati, nan mudo dikasihi, samo gadang dicintai” yang berarti yang tua dihormati, yang muda dikasihi, kepada yang sesama (umur) dicintai. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebersamaan adalah nilai yang diutamakan dengan cara menghormati yang lebih tua, mengasihi yang lebih muda, dan mencintai sesama.
Sumber Bahan Filsafat Nusantara
Terdapat dua sumber dalam menganalisis filsafat nusantara. Sumber pertama adalah sumber eksplisit yaitu sumber yang berbentuk tulisan-tulisan para tokoh tentang filsafat lokal. Sumber kedua adalah sumber implisit yaitu mengobservasi langsung kebudayaan pra-modern (filsafat lokal) bangsa Indonesia.
Dalam mengobservasi kebudayaan pra-modern bangsa Indonesia, kita harus mengetahui definisi kebudayaan. Kebudayaan, menurut Van Peursen, adalah semua aktivitas manusia yang mengandung nilai-nilai atau cita-cita. Menurut Koentjaraningrat, terdapat tujuh unsur kebudayaan sebagai unsur yang dianalisis dalam kebudayaan yaitu sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem mata pencaharian (sistem ekonomi), sistem teknologi, sistem religi dan sistem kesenian. Dimana nanti ketujuh unsur tersebut kita dapat menyimpulkan filsafat lokal dari kebudayaan yang kita kaji.
Selain itu, terdapat tiga bentuk kebudayaan yaitu berbentuk ide, sikap, dan fisik. Ide bersifat normatif, seperti aturan adat, puisi, maupun pemikiran. Dimana bentuk ide adalah abstrak dimana kita mendapatkannya dari buku atau dari mulut ke mulut. Yang dimaksud sikap adalah perilaku atau kelakuan, seperti upacara adat, tarian, maupun unggah-ungguh (sopan-santun). Bentuk sikap lebih kongkrit namun kita harus mengobservasinya di lapangan secara langsung. Bentuk fisik adalah benda statis yang merupakan hasil dari ide dan sikap, seperti tata kota, arsitektur, maupun rumah adat. Bentuk fisik merupakan hal yang paling kongkrit dimana kita dapat mengamati secara langsung benda tersebut.
Corak Filsafat Nusantara
Terdapat tiga corak dari filsafat nusantara yaitu objektif mutlak, objektif terselubung, dan subjektif relatif. Objektif mutlak adalah hal yang bersumber dari nilai-nilai keagamaan, keyakinan, atau kepercayaan setempat. Objektif terselubung adalah suatu hal yang kita memerlukan suatu interpretasi terhadap sesuatu tersebut. Subjektif relatif adalah suatu hal yang merupakan buah pikir dari tokoh maupun seseorang.
Metode Penelitian Filsafat Nusantara
Terdapat tiga metode maupun pendekatan dalam penelitian filsafat nusantara yaitu pendekatan sistematika filsafat, pendekatan unsur budaya daerah, dan pendekatan campuran. Pendekatan sistematika filsafat adalah pendekatan dengan mempersempit objek formal penelitian seperti “Kosmologi Indonesia” atau “Kosmologi Jawa”. Kelemahan dari pendekatan ini adalah objek material yang terlalu luas sehingga kita harus meneliti satu persatu setiap unsur yang terdapat di dalamnya.
Pendekatan unsur budaya daerah adalah pendekatan dengan mempersempit objek material yang akan dikaji seperti “Filsafat Sistem Religi Jawa” atau lebih spesifik lagi seperti “Filsafat Tari Topeng Malang”. Kelemahan dari pendekatan ini adalah objek formal yang terlalu luas sehingga kita harus menggunakan semua kacamata filsafat dalam menganalisis objek material.
Pendekatan campuran adalah sintesis dari pendekatan sistematika filsafat dan pendekatan unsur budaya daerah. Pendekatan ini adalah pendekatan dengan cara mempersempit objek formal dan objek material dalam penelitian seperti “Kosmologi Tari Topeng Malang”. Kelemahan dari pendekatan ini adalah penelitian yang terlalu sempit sehingga tidak menemukan secara komprehensif tentang objek material yang dikaji. Bagaimanapun, pendekatan campuran adalah pendekatan yang direkomendasikan karena jika dianalogikan seperti membuat tembok rumah yang disusun dari bata-bata yang kecil lalu direkatkan oleh semen lalu dicat dan menjadi tembok, maka penelitian yang sempit ini nanti disatukan atau direkatkan dengan penelitian-penelitian yang lain sehingga akan menyatu dan membentuk suatu sistem filsafat nusantara yang sistematis.
Penutup
Dari penjelasan di atas tentang filsafat nusantara, didasarkan pada kisi-kisi UTS semester dua. Dengan adanya artikel ini, diharapkan pembaca dapat mengerjakan UTS dengan lancar.
Mana referensinya mas? Tolong sumbernya dicantumkan
BalasHapusMaaf, ini bukan penelitian ilmiah. Sumbernya dari materi pembelajarn di kelas oleh bapak Drs. Budisutrisna. Memangnya kenapa?
Hapus