Dulu, masyarakat bajo kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Sekarang, mereka mulai menetap dengan pola hidup sederhana. Salah satunya di pulau kaledupa, wakatobi.
Suku bajo berasal dari daerah cina selatan. Mereka adalah suku bangsa proto malayan yang datang ke wilayah Asia Tenggara sekitar 2000 SM. Mereka meggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa bugis-sulsel.
Laut adalah tumpuan mereka. Sejak dulu mereka dikenal sebagai pelaut ulung. Nama bajo berasal dari leluhur mereka yang hebat dalam melaut dan bercocok tanam. Bajo berarti mendayung perahu dengan alat yang di sebut bajo.
Kepercayaan yang mereka anut adalah animisme dan dinamisme serta agama hindu. Contohnya Inak sariti yang merupakan dewi padi bulu di suku bajo. Namun seiring dengan ajaran islam masuk yang di bawa oleh sunan prapen (cucu sunan giri), banyak di antara mereka berpindah agama. Karena suku bajo menilai antara kebudayaan mereka dan agama islam mempunyai korelasi inklusif (tidak bertentagan).
Mereka mempunyai filosofi watu telu. Watu (keluar) Telu (tiga) adalah keluarnya tiga fase kehidupan; Beranak, Bertelur (unggas dan ikan), Bertumbuh (tumbuhan).
Watu telu menjelaskan 3 fase kehidupan makhluk. Kelahiran, kehidupan, dan kematian. Filosofi ini juga menjelaskan bahwa setiap makhluk hidup memiliki perbedaan dinamika kehidupan. Dan ini menyiratkan bahwa manusia adalah satu kesatuan yag tidak bisa di pisahkan dari alam.
Mereka mempunyai bendera suku yang bernama sambu layang. Bendera ini sebagai pemersatu suku bajo dalam menumbuhkan rasa nasionalitas.
Mereka juga mempunyai pemerintahan tersendiri. Ini di kepalai oleh presiden. Kemudian di pilih oleh sistem pemilihan mereka. Pemerintah indonesia hanya sebagai mediator dalam proses pemilihan tersebut.
Dalam perkawinan, seperti pada umumnya diawali oleh peminangan (massuro). Secara turun-temurun, keturunan bangsawan melakukannya secara besar-besaran. Sedangkan yang awam, melakukan semampunya.
Dalam suku bajo, di perbolehkan untuk kawin lari (silaiyyang) jika tidak direstui oleh orang tua wanita. Dengan syarat kedua mempelai menyepakati. Mereka lari ke rumah kepala kampung untuk berlindung, diurus, dan dinikahkan.
Dulu, silaiyyang menyebabkan pakaiyya (balas dendam) bagi keluarga si wanita. Keluarga si wanita ingin membunuh mempelai pria. Tetapi sekarang, ketentuan adat telah mengatur jika sudah berada di dalam rumah kepala kampung, maka kedua mempelai tidak boleh di usik lagi.
Fungsi kepala kampung adalah sebagai mediator. Jika keluarga wanta tetap tidak merestui, maka kepala kampung tetap menikahkan mempelai dengan cara Wali-Hakim. Meskupn begitu, keadaan kedua pasangan tersebut tetap berbahaya jika mereka tidak meminta maaf (sipamapporah) kepada keluarga si wanita.
Mereka mengikuti UU No. 1 tahun 1974 (wanita 16 tahun dan pria 19 tahun) dalam urusan usia perkawinan. Jika di bawah umur, mereka tetap di nikahkan namun tetap tinggal di rumah masig masing hingga umur mereka sesuai dengan UU di atas.
Mereka mempunyai aturan yang di larang. Terdapat 4 wanta yang tidak boleh di nikahi oleh seorang pria, yaitu : wanita yang melahirkannya maupun melahirkan orang tuanya, wanita yang merupakan keturunannya, wanita yang seketurunan dengannya, wanita yang seketurunan dengan orang tuanya.
Dalam prosesnya dilakukan perkawinan duduk (siting koloang). Yaitu, salah satu pihak menuju kediaman pihak lain untuk melakukan musyawarah perihal pernikahan.
Dalam hal kesenian, terdapat tari manca dan sile' kampoh. Tari manca merupakan tarian dalam acara pernikahan. Di lakukan oleh dua orang sambil membawa pedang. Mereka berdua di latih sejak kecil. Tarian ini di iringi dengan seruling dan gendang.
Sementara sile' kampoh, silat ini sangat berhubugan dengan tari manca. Di dalamnya merupakan jurus-jurus yang di gunakan di tari manca. Prinsip silat di dalamnya merupakan jalan hidup dan ada dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Dalam bidang teknologi, teknologi mereka sangat maju dalam bidang kelautan, dan perikanan. Pertama adalah timbalu. Timbalu adalah bambu yang di taruh melintang pada kapal yang berjalan. Pada kedua ujungnya diikat senar, ini berguna menangkap ikan tuna.
Sampan kaloko, sampan kecil tanpa layar. Berukuran kurang dari 5 meter. Di gunakan menangkap ikan cakalang, serta berpindah dari rumah ke rumah.
Bagu, Tali pancing. Tali pancing ini terbuat dari serat pohon bagu. Struktur yang sangat kuat, sehingga di gunakan untuk tali pancing.
Ngambai, menangkap ikan dengan jaring. Penangkapannya di lakukan bersama-sama. Biasanya di lakukan oleh 3 kapal dengan 2 kapal yang di ikat jaring dan satu kapal untuk menggiring ikan menuju jaring.
Sementara rumah mereka di bangun di atas laut. Berbentuk bujur sangkar maupaun persegi panjang. Atap terbuat dari seng maupun daun rumbia. Luas bangunan sekitar 5x11 meter.
Terdapat 3 tipe rumah yaitu kecil, sedang dan besar. Rumah kecil berisi 2-3 ruang dengan atap daun rumbia dan dinding daun sibar. Rumah sedang berisi 3-4 ruang dengan atap daun rumbia dan dinding papan kayu. Rumah besar berisi lebih dari 4 ruang dengan atap seng dan dinding kayu tebal.
Struktur bangunan mereka dilatar belakangi oleh budaya apabolang. Terdapat tiga prinsip mendasar dalam bangunan mereka. Ulu, watang, dan aje. Ulu adalah kepala rumah atau atap yang bermakna kesucian. Watang adalah badan rumah yang bermakna kehidupan yang dilindungi. Aje adalah tempat membendung roh jahat agar tidak masuk ke watang.
Dalam watang terdapat lego-lego atau paselo (teras), watangpola (ruang keluarga), dan dapuren (dapur). Dalam watang pola harus ada pocibola (pusar rumah) untuk berkumpul, upacara adat, dan melakukan doa-doa serta pembakaran kemenyan agar terhindar dari malapetaka.
Dalam pembangunan rumah, mereka melakukan upacara mapa tettong bola. Ini bertujuan meminta izin kepada laut agar memperbolehkan mereka membangun rumah.
Mereka juga menganggap arah barat adalah suci. Dan juga, anak tangga harus ganjil agar mendapat keberuntungan.
Dalam hal tiang rumah, mereka menggunakan kayu posi-posi dengan sambungan kayu di paku di bawah rumah dan ikatan tali enau pada baian atap.
Atap rumah mereka berbentuk pelana dengan sambungan ikat dan memakai rumbia. Dinding pun memakai kayu nibog dan sambugan ikat dan kayu. Untuk lantai, mereka memakai kayu utuh yang di datarkan.
Mereka juga mempunyai rumah suku. Itu adalah rumah panggung di atas air. Rumah panggung tersebut mengunakan tiang pancang berdiameter 15-25 cm.
Sekian ringkasan suku bajo. Semoga teman-teman bisa mengerjakan uas dengan lancar. Good Luck.
Akhir kata, saya ambil semboyan dari suku bajo yaitu "Dilao' DenakangKu" yang berarti "Lautan adalah saudaraku".
Oleh: Muhammad Qatrunnada Ahnaf dan Muhammad Nur Alam Tejo
(Nur)
Line: 15_alam
Twitter: @striker_15
IG: 15_striker
FB: Alam Tejo
Path: Muhammad Nur Alam
Twitter: @striker_15
IG: 15_striker
FB: Alam Tejo
Path: Muhammad Nur Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar