Objek material filsafat Pancasila adalah substansi
dari tiap-tiap sila Pancasila, yaitu: Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, dan Adil.
Objek material tersebut lalu dianalisis hakikatnya dengan metode filsafat yaitu
metode abstraksi. Dengan demikian, objek formal filsafat Pancasila adalah
mencari hakikat tiap sila dengan metode abstraksi.
Dasar ontologis Pancasila adalah idealisme –
realistis. Hal tersebut dapat ditangkap dari sifat Pancasila yang mengakui
adanya substansi non-materiil, dengan tidak mengesampingkan maupun menolak
keberadaan konkret yang dapat diamati dan sungguh-sungguh ada. Itulah mengapa dasar
ontologis Pancasila adalah idealisme yang realistis.
Kesatuan sistem Pancasila adalah kesatuan
organis—berangkai, satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maksudnya,
subjek pendukungnya yaitu manusia yang monopluralis—susunan kodrat, sifat
kodrat, maupun kedudukan kodrat, merupakan hal yang menjadi landasan kesatuan sistem
Pancasila. Dengan demikian, kesatuan sila Pancasila juga merupakan kesatuan
makna, tidak hanya berbentuk formal – logis atau hierarkis – piramidal saja. Namun,
kesatuannya juga berbentuk hakikat – makna, yaitu ontologis, epistemologis, dan
aksiologisnya.
Landasan ontologis Pancasila merupakan
landasan monodualis yang didasarkan pada hylemorfisme dan idealisme—Aristoteles
dan Plato. Kesatuan organis, yang telah dijelaskan sebelumnya, dan juga berdasar
sifat manusia yang monodualis, menunjukkan sifat Pancasila yang substansial:
abstrak, umum, dan universal, dengan metode abstraksi—hakikat Tuhan, Manusia,
Satu, Rakyat, dan Adil.
Terdapat dua macam sebab atau asal mula Pancasila
sebagai dasar negara: langsung dan tidak langsung. Sebab langsung Pancasila adalah
semua aktivitas yang direncanakan untuk mempersiapkan dasar negara bagi Indonesia
merdeka. Sebab tidak langsung Pancasila adalah kenyataan hidup, bahwa
unsur-unsur Pancasila telah ada dalam kebudayaan di Indonesia sebelum disahkan
menjadi dasar negara. Sebab atau asal mula tersebut dikembangkan dari analisis
empat causa: causa materialis (sebab materiil), causa formalis (sebab bentuk),
causa finalis (sebab tujuan), causa efisien (sebab karya).
Susunan kesatuan Pancasila adalah hierarkis
– piramidal. Urutan sila-sila Pancasila merupakan satu rangkaian tingkatan
berdasarkan keluasan isinya. Sila yang mendahului menjiwai sila setelahnya,
begitu pula untuk sila yang didahului adalah berlandaskan sila yang
mendahuluinya. Dengan demikian setiap sila merupakan satu kesatuan yang
mengikat sehingga Pancasila memiliki kesatuan yang bulat.
Arti sila pertama Pancasila didasarkan pada
hakikatnya yaitu Tuhan. Tuhan merupakan causa prima—penyebab awal segala
sesuatu. Hal ini didasarkan pada pembuktian Tuhan oleh Thomas Aquinas, di mana Tuhan
merupakan causa prima. Dalam ranah kosmologis dapat ditangkap bahwa Tuhan
merupakan pencipta Manusia, dan ini merupakan titik tolak di mana munculnya
sila kedua—manusia—yang dijiwai dan didasarkan pada hakikat sila pertama—Tuhan.
Arti sila kedua Pancasila didasarkan pada
sifat manusia yang monopluralis. Manusia merupakan satu kesatuan dari susunan
kodrat (jiwa – badan), sifat kodrat (individu – sosial), dan kedudukan kodrat
(makhluk Tuhan – makhluk bebas). dari sifat monopluralis manusia tersebut,
muncul bentuk tolak ukur tabiat manusia, ada empat yaitu: 1. Melakukan perbuatan
atas dorongan kehendak, berdasar putusan akal, dan selaras dengan rasa untuk
memenuhi hasrat-hasrat sebagai ketunggalan; 2. Hakikat untuk memenuhi kebutuhan,
baik kejiwaan maupun ketubuhan, diri sendiri dan orang lain; 3. Hasrat ketubuhan
dan kejiwaan individu maupun sosial yang saling membatasi; 4. Manusia harus
memiliki kemampuan untuk membatasi diri agar tidak melampaui batas untuk
menghindari hal yang duka atau tidak enak. Dengan demikian, sifat manusia yang
monopluralis dan empat tabiat saleh manusia tersebut memunculkan sila ketiga—satu—yang
dijiwai dan didasarkan pada sila kedua—manusia.
Arti sila ketiga Pancasila didasarkan pada
hakikat satu, yaitu utuh tidak terbagi dan mutlak terpisah dari segala sesuatu
hal lainnya. Hakikat satu dapat dilihat secara lahir dan batin, yang kemudian disintesiskan
menjadi hakikat Bhineka Tunggal Ika. Hakikat satu secara lahir adalah bahwa
manusia Indonesia memiliki kesamaan wilayah, bentuk negara maupun bangsa.
Hakikat satu secara batin adalah bahwa manusia Indonesia memiliki kesamaan
nasib yaitu pernah dijajah dan inginan untuk merdeka. Kedua hakikat tersebut
disintesiskan menjadi hakikat Bhineka Tunggal Ika yaitu pengakuan atas adanya
perbedaan, yang mana perbedaan tersebut disikapi dengan kerja sama dan gotong –
royong. Hakikat Bhineka Tunggal Ika tersebut memunculkan sila keempat—rakyat—yang
dijiwai dan didasarkan pada sila ketiga—satu.
Dirangkum oleh: Muhammad Nur Alam Tejo
Sumber: buku Konsep Inventif Etika
Pancasila Berdasarkan Filsafat Pancasila Notonagoro, oleh Dr. Sri Soeprapto, M.S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar