Sumber Foto: Link |
Berselancar di dunia maya, terutama Twitter, ternyata cukup mengerikan. Bagaimana tidak, berbagai macam analisis politik abal-abal bermunculan perihal penghitungan suara Real Count yang dilakukan oleh KPU. Salah satu analisis abal-abal tersebut saya temukan di blog bernama "Hersubeno Arief's Corner"--bisa kalian lihat di link berikut.
Analisis tersebut dibuka dengan klaim bahwa publik sudah paham dan sangat meyakini Prabowo menang. Bahkan, penulis blog tersebut mengklaim bahwa Indonesia sudah mempunyai presiden baru secara de facto! Problemnya, de facto yang ia maksud dari mana? Apakah hanya karena dari hasil exit poll internal BPN Prabowo-Sandi, lantas Prabowo secara de facto menang? Jelas tidak!
Lebih parahnya lagi, artikel tersebut menuduh bahwa aplikasi Situng KPU merupakan suatu bentuk manipulasi dan intimidasi pikiran publik--ia memberikan nama "Mind Games" padahal artinya berbeda jauh dengan intimidasi pikiran; mungkin ia tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, maklumi saja. Padahal, kita sama-sama mengetahui bahwa KPU merupakan badan resmi perihal penghitungan suara. Tuduhan dalam artikel tersebut tentu akan mengacaukan--memang sengaja mengacaukan--pikiran publik perihal berjalannya Pilpres 2019.
Dalam rangka membantah analisis abal-abal tersebut, perlu adanya rasionalisasi tandingan agar publik dapat melihat dari sisi lain, selain dari narasi kosong yang diangkat oleh artikel tersebut. Dengan demikan, saya berikan lima alasan mengapa artikel tersebut tidak masuk akal.
Pertama, kalau Real Count KPU masih dalam proses, bagaimana bisa Prabowo pasti menang? Hal ini jelas mustahil bahwa Prabowo pasti menang apabila proses Real Count KPU masih berlangsung.
Kesalahan input yang dilakukan oleh KPU tidak dapat kita cap serta merta sebagai suatu bentuk kecurangan. Kesalahan input memang terjadi karena Human Error, dan faktanya memang kesalahan input tersebut terjadi secara merata. Terlebih, tuduhan bahwa Real Count KPU mengejar angka Quick Count adalah tuduhan yang tidak berdasar.
Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, “To say of what is that it is not, or of what is not that it is, is false, while to say of what is that it is, and of what is not that it is not, is true”. Mengatakan sebuah kesalahan input sebagai sebuah kecurangan sudah jelas merupakan suatu kekeliruan dalam berpikir. Justru orang yang sengaja keliru dalam berpikirnya lah yang lebih cocok dikatakan sebagai orang dungu.
Kedua, klaim bahwa Prabowo, dalam Pilpres 2019, memenangkan lebih banyak provinsi daripada Jokowi adalah klaim yang omong kosong. Faktanya, Real Count KPU masih dalam proses, itupun data yang masuk masih belum sampai 50% pada tanggal 27 April 2019 ini. Lantas, bagaimana bisa benar bahwa Prabowo memenangkan lebih banyak provinsi dari pada Jokowi? Ya belum tentu! Ingat-ingat, sebelum Real Count KPU mencapai 100% dan disahkan, klaim-klaim macam itu hanyalah lelucon buang air besar dalam karung.
Lagian, Indonesia bukan negara federal; saya tekankan sekali lagi, INDONESIA BUKAN NEGARA FEDERAL. Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Sehingga, kemenangan dibanyak provinsi tidak menjamin kemenangan sebagai Presiden. Kemenangan seseorang sebagai Presiden itu bergantung pada jumlah suara sah yang memilih dia, yaitu minimal 50%+1 dari total surat suara sah yang masuk dalam hitungannya KPU. Jadi, jangan samakan Indonesia dengan Amerika Serikat!
Ketiga, kekalahan Jokowi di 8 dari 9 TPS di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jakarta Timur tidak membuktikan apapun perihal kemenangan Prabowo sebagai Presiden Indonesia! Lagipula, hal tersebut tidak membuktikan sama sekali bahwa Jokowi adalah "barang reject" seperti yang dituduhkan dalam artikel abal-abal tersebut. Mengapa demikian? Karena 8 dari 9 TPS tersebut hanyalah sebagian kecil dari jumlah total suara yang ada di Indonesia, sederhananya ya hal tersebut tidak mewakili.
Salah satu tolak ukur yang kuat untuk melihat apakah seseorang merupakan produk gagal atau "barang reject" adalah kegagalan mejadi Presiden Indonesia lebih dari satu kali. Keledai saja tidak mau jatuh ke lubang yang sama, ya kali mau jatuh dua kali. Kalau kegagalan yang sama berulang lebih dari sekali, berarti lebih pintar keledai dong.
Keempat, keinginan Jokowi untuk bertemu dengan Prabowo, dengan mengirimkan utusannya, sama sekali tidak membuktikan kekalahan Jokowi maupun kemenangan Prabowo. Siapa tau Jokowi ingin silaturahmi dengan Prabowo, ingin memupuk tali persaudaraan, apakah hal tersebut salah? Tentu hal tersebut adalah sebuah contoh negarawan yang baik! Sedari Sekolah Dasar kita diajarkan untuk selalu berkawan dan ramah dengan siapapun. Saya masih ingat betul hal tersebut selalu diajarkan di mata pelajaran PKN.
Saya pun sekarang juga menyadari, berkat mata kuliah Filsafat Politik, bahwa komunikasi adalah dimensi yang penting dalam berpolitik. Justru apa yang dilakukan oleh Jokowi tersebut adalah salah satu bentuk komunikasi politik yang baik. Saya heran, mengapa Prabowo menolak ajakan Jokowi tersebut; hal itu malah menunjukkan bahwa Prabowo memiliki pola komunikasi politik yang buruk.
Kelima, ucapan selamat dari kepala negara lain tidak memberikan efek apapun terhadap kemenangan salah satu paslon. Tentu kita paham bahwa kepala negara lain itu tidaklah bodoh. Mereka paham bahwa proses Real Count KPU sedang berlangsung, sehingga masih belum diketahui siapa yang bakal menjadi Presiden; meskipun mayoritas Quick Count sudah menunjukkan hasilnya. Wajar apabila kepala negara lain hanya memberikan ucapan selamat atas berjalannya Pemilu 2019.
Hal ini tentu berbeda halnya dengan orang yang terburu-buru mendeklarasikan kemenangannya hanya karena exit poll internal. Tidak perlu disebutkan siapa, kita sudah sama-sama mengetahui; cukup kita panggil dengan sebutan You-Know-Who.
Kalau saya sederhana saja, hanya orang yang sudah kalah sejak dalam pikiran lah yang akan melakukan hal-hal aneh, termasuk deklarasi yang terburu-buru semacam itu. Ingat, jangan mudah terpengaruh dengan analisis abal-abal seperti artikel yang telah saya bantah sebelumnya. Saya sekarang semakin yakin bahwa di era kontemporer ini, tidak hanya disinformasi maupun misinformasi yang berbahaya; ada yang lebih berbahaya, yaitu irasionalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar