Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]


Sumber: Link

Banyak orang berdebat perihal kesetaraan, yang mana orang-orang tersebut membagi kesetaraan menjadi dua: Equality of Opportunity dan Equality of Outcome. Saya di sini memposisikan diri bahwa kedua hal tersebut tidaklah mungkin, dalam arti bukan pilihan yang rasional. Berikut akan saya jelaskan mengapa.

Equality of Opportunity

Sesuai dengan namanya, Equality of Opportunity berarti kesetaraan dalam konteks kesempatan. Apabila kita analogikan dengan sebuah perlombaan, maka seluruh peserta memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai garis finish. Proses menuju finish tersebut dilimpahkan pada kemampuan  setiap peserta lomba. 

Tentu saja analogi tersebut terlihat masuk akal, namun hanya terbatas pada konteks perlombaan. Perlombaan dibuat dengan sistem yang memastikan bahwa setiap orang yang mengikuti perlombaan memiliki kemampuan yang sama. Problem dari Equality of Opportunity justru terletak pada penerapannya sebagai kebijakan pemerintah.

Pertama-tama, kita harus menyepakati terlebih dahulu bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Perbedaan kemampuan ini ada karena keterbatasan yang inheren dalam setiap diri manusia. Contoh dari keterbatasan ini seperti kesehatan, pengetahuan, maupun pengalaman. Dengan adanya perbedaan kemampuan ini, tentu Equality of Opportunity merupakan solusi yang sangat tidak solutif terhadap kondisi suatu negara, semisal kesenjangan ekonomi.

Dalam konteks kesenjangan ekonomi, apabila pemerintah hanya memberikan kesempatan yang sama, tentu kesenjangan akan tetap terjadi. Kesempatan yang sama itu buta terhadap kemampuan yang berbeda-beda, buta terhadap keterbatasan yang inheren dalam diri manusia. Hasilnya, tetap saja terjadi kesenjangan, yang kaya tetap kaya, yang miskin tetap miskin; lebih parah lagi, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

Equality of Outcome

Equality of Outcome, yang biasa disebut dengan Equity, dilihat sebagai solusi atas problem yang muncul dalam konsep Equality of Opportuniy. Saya kira hal ini terlalu berlebihan. Problem tetaplah muncul dalam penerapannya dalam kehidupan bernegara.

Equality of Outcome, secara sederhana, adalah suatu sistem yang memastikan setiap orang untuk mencapai taraf minimum tertentu, yang menurut sistem tersebut dikatakan layak. Dalam konteks ekonomi, kelayakan ini dapat kita sebut kesejahteraan. Dengan demikian, kebijakan yang berlandaskan Equality of Outcome memberikan berbagai bantuan untuk memastikan setiap orang sejahtera.

Sayangnya, problem baru muncul dalam regulasi perihal berbagai bantuan ini. Mau tidak mau, dalam memberikan bantuan ini, terdapat sebuah struktur yang akan memastikan bantuan tersebut tersalurkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, diperlukan sebuah biaya lebih untuk memastikan keberlangsungan sistem ini.

Lantas, siapa yang menanggung seluruh biaya lebih tersebut? Ya semua orang yang tercakup dalam sistem tersebut; dengan kata lain, rakyat. Hal ini biasanya berbarengan dengan berbagai dalih, semisal subsidi silang--yang kaya membantu yang miskin, namun dalam sistem yang terstruktur dan merupakan sebuah kewajiban.

Dalih-dalih tersebut, bagi saya, merupakan sebuah omong-kosong. Bagaimana tidak, hal tersebut merupakan sebuah perampasan, bahkan perampokan, yang terstruktur--memaksa si kaya untuk membayar lebih sementara ia tidak mendapatkan benefit yang real darinya. Dengan kata lain, saya melihat solusi yang ditawarkan oleh Equality of Outcome tidaklah sustainable.

Sistem Lain

Apabila kita lihat dalam Equality of Outcome, masalah baru--yaitu tidak sustain--tersebut muncul disebabkan oleh keterbatasan sistemik yang dibuatnya sendiri. Keterbatasan sistemik, atau Systemic Barrier, ini adalah taraf minimum atau "kesejahteraan" itu sendiri. Kesejahteraan sebagai problem merupakan hal yang perlu untuk dipecahkan.

Berbicara tentang kesejahteraan sebagai problem yang perlu dipecahkan, saya bermaksud bahwa kesejahteraan merupakan asumsi ontologis dalam sistem Equality of Outcome. Saya menekankan bahwa asumsi ontologis tersebut benar-benar dipecahkan. Bayangkan kesejahteraan seperti kaca, ya tinggal kita pecahkan berkeping-keping, lantas pecahannya kita sapu dan buang jauh-jauh. Sistem seperti apa yang saya maksud? Sistem ini lebih tepat dinamai dengan sistem berkeadilan.

Sistem berkeadilan ini menghapuskan systemic barrier yang hadir sebagai problem dalam Equality of Outcome. Penghapusan ini dapat dilakukan dengan mendekonstruksi hierarki inheren dalam kesejahteraan tersebut, yang mana hal tersebut memerlukan proses yang panjang, yang tidak akan cukup dibahas dalam artikel singkat dalam blog seperti ini. Dengan demikian, mari kita suspend terlebih dahulu judgement kita perihal kesejahteraan.

Akan tetapi, to be just, ada pertanyaan yang perlu kita jawab secara jujur: apa itu kesejahteraan?
Food for Thought!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib