Interpretasi Copenhagen mendasarkan dirinya
pada suatu fungsi gelombang. Fungsi gelombang menjadi landasan utama untuk
memahami sebuah kejadian dalam fenomena kuantum. Dengan kata lain, segala hal
yang terjadi dalam fenomena kuantum sebenarnya telah termaktub dalam fungsi
gelombang.
Interpretasi Copenhagen menganggap realitas
yang teramati sebagai sebuah bentuk the collapse
of wave function. Sementara itu, realitas yang tidak teramati—atau belum
teramati—adalah fungsi gelombang itu sendiri. Realitas yang tidak teramati itu
di tafsirkan sebagai suatu bentuk super posisi. Super posisi di sini berarti
bahwa suatu hal berada dalam suatu keadaan yang berbeda secara bersamaan.
Super posisi dapat dipahami dengan beberapa
contoh. Bayangkan sebuah gelas, namun yang hanya diketahui adalah bentuk
gelasnya saja, sementara properti seperti warna, tidak diketahui. Dengan demikian,
seluruh probabilitas sebuah gelas terebut mengenai warnanya adalah sama—probabilitas
baik gelas tersebut berwarna merah, hijau, biru dan sebagainya adalah sama—sehingga
dapat disimpulkan bahwa keadaan gelas tersebut sebelum diobservasi kepastian
warnanya adalah super posisi.
Contoh lain super posisi adalah bagaimana
sebuah partikel bergerak. Seperti yang dijelaskan oleh hukum Heisenberg bahwa
posisi dan momentum bersifat eksklusif, yang berarti kita tidak dapat
memastikan posisi dan momentum sebuah partikel secara bersamaan. Apabila posisinya
diketahui dengan pasti, justru momentumnya bersifat super posisi, sebaliknya
apabila momentumnya diketahui dengan pasti, justru posisinya bersifat super posisi.
Interpretasi Copenhagen menganggap bahwa
realitas yang sesungguhnya adalah fungsi gelombang, atau dengan kata lain super
posisi. Realitas yang telah diamati, atau hasil pengukuran adalah hanya
merupakan sebuah derivasi dari suatu fungsi gelombang. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, realitas yang teramati adalah the
collapse of wave function, hal ini berarti bahwa realitas yang teramati
bukanlah realitas yang sesungguhnya karena hanya bagian dari realitas yang
lebih tinggi yaitu fungsi gelombang atau super posisi.
Apabila interpretasi ini benar, maka konsep
logika yang telah dikembangkan sedemikian rupa patut untuk dipertanyakan
kembali. Sebuah proposisi seperti “gelas itu berwarna merah” maka akan bernilai
kontradiktif apabila masih dalam tahap super posisi—kontradiktif karena gelas
menjadi berwarna merah dan berwarna tidak merah secara bersamaan. Nilai kebenaran
menjadi kaos dalam struktur super posisi, karena segalanya menjadi dibenarkan,
segala keadaan adalah benar. Jikalau demikian, nilai kebenaran hanyalah sebuah
korelat dari suatu pengukuran atau observasi. Dengan kata lain, kebenaran
adalah relatif terhadap pengukuran. Jadi, apakah kebenaran itu relatif?