Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]

Utilitarianisme

Utilitarianisme adalah aliran etika yang berpandangan bahwa utilitas (kegunaan/kemanfaatan) adalah kunci utama kebaikan; yang berguna/bermanfaat adalah yang baik. Utilitas dikalkulasi berdasarkan konsekuensi yang terjadi dari suatu keputusan moral. Berdasarkan hal tersebut, utilitarianisme dapat dinamai sebagai konsekuensialisme. Dengan demikian, utilitarianisme dapat dikategorikan ke dalam bentuk etika teleologis yang fokus pada pembahasan kebaikan dalam konteks akibat yang dihasilkan dari suatu putusan moral.

Secara umum, terdapat dua bentuk utilitarianisme: utilitarianisme aturan dan utilitarianisme tindakan. Utilitarianisme aturan lebih menekankan pada konsekuensi dari sebuah aturan moral, sedangkan utilitarianisme tindakan lebih menekankan pada konsekuensi dari suatu perilaku moral.

Secara khusus, dalam konteks utilitas, terdapat empat bentuk dari utilitarianisme: “hedonistic” utility, “non-hedonistic mental state” utility, “preference” utility, dan “well-informed preference” utility. Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai keempat bentuk utilitarianisme tersebut.

“Hedonistic” Utility

Bentuk ini adalah bentuk awal dari utilitarianisme. Bentuk ini menyamakan antara utilitas, kebaikan, dan kesenangan; kesenangan itu utilitas, kesenangan itu kebaikan. Pembawa teori ini adalah Jeremy Bentham. Bentham berpandangan bahwa kesenangan adalah hal tertinggi yang harus dijunjung oleh setiap orang, dan setiap orang wajib untuk memaksimalkan kesenangannya masing-masing—bersifat individualistis. Kebaikan bersama adalah ketika jumlah dari seluruh orang yang merasa senang lebih banyak dari yang tidak merasa senang. Ketika kesenangan seseorang membuat orang lain tidak senang, maka hal tersebut menjadi urusan hukum yang berlaku.

Bentham memiliki pandangan moralitas yang sangat matematis; moralitas kuantitatif. Ia berpandangan bahwa moralitas dapat diukur menggunakan kalkulus, yang ia namai kalkulus utilitarian. Terdapat tujuh (InDuCe ProF PurEx) faktor untuk menghitung hasil kalkulus utilitarian:
- Intensity (seberapa baik kualitas kesenangannya);
- Duration (seberapa lama merasakan kesenangannya);
- Certainity (seberapa pasti mendapatkan kesenangan);
- Propinquity (seberapa cepat mendapatkan kesenangannya);
- Fecondity (seberapa banyak menghasilkan kesenangan lain);
- Purity (seberapa baik kualitas kesenangan lain yang akan dihasilkan);
- Extent (seberapa banyak orang yang merasakan kesenangan).
Inilah mengapa Bentham memiliki pandangan “The greatest happiness for the greatest number of people.”

“Non-Hedonistic Mental State” Utility

Bentuk ini adalah bentuk lanjutan dari Utilitas Hedonistik. Pembawa teori ini adalah John Stuart Mill. Mill menolak pandangan kualitatif Bentham karena Ia berpandangan bahwa Bentham tidak mengategorisasi kebahagiaan, sehingga manusia dianggap sama dengan binatang lainnya.

Mill menetapkan utilitas yang lebih kualitatif seperti yang ia katakan “lebih baik menjadi Socrates yang berduka daripada babi yang bahagia.” Kelebihan dari manusia terletak pada rasionalitas dan kedewasaannya. Manusia juga memiliki asosiasi psikologis yang berwatak sosial; manusia bahagia melihat manusia lain bahagia—pandangan ini lebih cenderung pada pandangan yang altruis bahwa berkorban untuk kebahagiaan manusia lain itu merupakan kebaikan tertinggi (tidak seperti Bentham yang bersifat individualistis).

Untuk membuat suatu keputusan moral, diperlukan suatu kebebasan. Kebebasan di sini adalah kebebasan berpendapat. Kebebasan didapatkan dengan memenuhi persyaratan yaitu rasionalitas dan kedewasaan; hewan lain tidak memiliki kebebasan sepeti manusia—anak kecil (belum rasional dan belum dewasa) itu berarti tidak bebas pula, maka harus dilindungi oleh kedua orang tuanya. Untuk permasalahan kebebasan perilaku, terdapat konsekuensi dari setiap perilaku—setiap pelaku yang melakukan sesuatu dianggap secara rasional memahami dan bertanggung jawab atas seluruh konsekuensi yang terjadi.

“Preference” Utility

Bentuk ini adalah bentuk tandingan dari Utilitas non-Hedonistik. Pembawa teori ini adalah Richard Mervyn Hare. Hare berpandangan bahwa statemen moral adalah rekomendasi belaka (prescribe); utilitas bukan lagi kesenangan maupun kebahagiaan, namun preferensi atau kesukaan pribadi. Rekomendasi berarti bersifat emotif, namun juga merupakan imperatif; orang lain diharapkan untuk mengikutinya.  Inilah mengapa teori Hare sering disebut dengan preskriptivisme; lebih tepatnya adalah preskriptivisme universal.

Preskriptivisme universal menggabungkan dua pandangan yaitu pandangan preskriptivisme dan universabilitas. Pandangan universabilitas merupakan pandangan yang mencoba untuk memvisualisasikan suatu maksim dari suatu prilaku kepada seluruh orang yang ada di dalam konteks perilaku tersebut, lalu melihat apakah ada kontradiksi dari perilaku tersebut atau “dapat diuniversalkan atau tidak.” Gabungan antara universabilitas dengan preskriptivisme, membuat utilitas menjadi bersifat preferensi; yaitu bahwa dalam berperilaku, kita harus memahami preferensi korban (membunuh orang yang ingin dibunuh itu diperbolehkan).

Untuk menentukan suatu putusan moral, hal yang terpenting adalah sebuah agregat, atau kecocokan preferensi antara orang-orang yang ada di dalam konteks perilaku tersebut yang menjadikan mereka dalam satu kelompok moralitas tertentu. Contoh sebelumnya, ketika seorang pelaku dan korban bertemu, pelaku tersebut memiliki preferensi untuk membunuh, sementara korban memiliki preferensi untuk dibunuh, maka keduanya mencapai suatu bentuk agregat. Demikian pula dengan konteks perilaku yang lebih besar seperti keputusan pemerintah, dll.

“Well-Informed Preference” Utility

Bentuk ini adalah bentuk lanjutan dari utilitas preferensi. Pandangan ini dibawa oleh Peter Singer. Utilitas dalam pandangan ini adalah kesejahteraan atau wellfare; berbeda dengan sebelumnya yang merupakan kesenangan, kebahagiaan, maupun kesukaan pribadi.

Aksioma moral yang menjadi landasan utama adalah kesetaraan preferensi. Maksud dari kesetaraan itu adalah bahwa tidak ada preferensi yang lebih baik dari preferensi yang lain; baik secara ras, jenis kelamin, maupun spesies—preferensi manusia setara dengan hewan lainnya.

Tugas utama setiap individu adalah mencegah terjadinya penderitaan. Untuk mencegah penderitaan, maka setiap individu harus melakukan altruisme yang efektif. Altruisme efektif dapat dipahami menggunakan analogi anak kecil yang tenggelam.

Bayangkan ada seorang anak kecil tenggelam di tengah kolam yang kotor. Lantas, ada seorang individu yang bisa menolong anak tersebut (bisa berenang), namun ia memakai baju yang sangat bagus yang baru saja ia beli. Menurut altruisme efektif, individu tersebut wajib menolong anak kecil itu dengan cara apapun yang efektif menghilangkan penderitaan anak tersebut yang tenggelam—menolong secara langsung dengan berenang lalu menarik anak tersebut ke tepi kolam. Alasan mengenai bajunya yang kotor setelah menyelamatkan anak tersebut adalah tidak relevan, karena tidak memiliki hubungan secara langsung baik dengan penderitaan sang anak kecil tersebut maupun penderitaan individu tersebut. Yang demikian itu, kesejahteraan dapat dicapai oleh kedua belah pihak—perlu digaris bawahi, individu tersebut juga berkewajiban untuk mengajari anak tersebut cara berenang agar penderitaan selanjutnya dapat dihindari.

Ketika analogi ini diterapkan pada kasus kelaparan, maka yang kaya harus memberikan makanan kepada yang kelaparan, agar penderitaan dapat dihapuskan. Lalu, yang kaya juga harus memberikan semacam pekerjaan dan sebagainya untuk mencegah kelaparan terjadi kembali. Perlu diingat, jika yang kaya dalam melakukan altruisme tersebut justru membuat dirinya kelaparan, maka alasan tersebut relevan karena ia menghapuskan penderitaan dengan menambah penderitaan yang lain.


Di sini, informasi yang baik dan lengkap akan konsekuensi suatu perilaku harus didapatkan terlebih dahulu dalam melaksanakan altruisme. Mencegah penderitaan berarti menghapus suatu penderitaan, sekaligus menjaga agar tidak terjadi penderitaan kembali serta menghapusnya dengan tidak memunculkan penderitaan lain. Dengan melakukan altruisme berlandaskan informasi yang salah, justru bisa saja memunculkan penderitaan lain, penderitaan bisa saja muncul kembali, bahkan penderitaan tidak terhapuskan sama sekali. Yang demikian itu, maka, kesejahteraan bersama akan dapat dicapai serta dipertahankan sedemikian rupa.

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib