Utilitarianisme
adalah aliran etika yang berpandangan bahwa utilitas (kegunaan/kemanfaatan)
adalah kunci utama kebaikan; yang berguna/bermanfaat adalah yang baik. Utilitas
dikalkulasi berdasarkan konsekuensi yang terjadi dari suatu keputusan moral.
Berdasarkan hal tersebut, utilitarianisme dapat dinamai sebagai
konsekuensialisme. Dengan demikian, utilitarianisme dapat dikategorikan ke
dalam bentuk etika teleologis yang fokus pada pembahasan kebaikan dalam konteks
akibat yang dihasilkan dari suatu putusan moral.
Secara
umum, terdapat dua bentuk utilitarianisme: utilitarianisme aturan dan
utilitarianisme tindakan. Utilitarianisme aturan lebih menekankan pada
konsekuensi dari sebuah aturan moral, sedangkan utilitarianisme tindakan lebih
menekankan pada konsekuensi dari suatu perilaku moral.
Secara
khusus, dalam konteks utilitas, terdapat empat bentuk dari utilitarianisme: “hedonistic” utility, “non-hedonistic mental state” utility, “preference” utility, dan “well-informed preference” utility.
Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai keempat bentuk utilitarianisme
tersebut.
“Hedonistic” Utility
Bentuk
ini adalah bentuk awal dari utilitarianisme. Bentuk ini menyamakan antara
utilitas, kebaikan, dan kesenangan; kesenangan itu utilitas, kesenangan itu kebaikan.
Pembawa teori ini adalah Jeremy Bentham. Bentham berpandangan bahwa kesenangan
adalah hal tertinggi yang harus dijunjung oleh setiap orang, dan setiap orang
wajib untuk memaksimalkan kesenangannya masing-masing—bersifat individualistis.
Kebaikan bersama adalah ketika jumlah dari seluruh orang yang merasa senang
lebih banyak dari yang tidak merasa senang. Ketika kesenangan seseorang membuat
orang lain tidak senang, maka hal tersebut menjadi urusan hukum yang berlaku.
Bentham
memiliki pandangan moralitas yang sangat matematis; moralitas kuantitatif. Ia
berpandangan bahwa moralitas dapat diukur menggunakan kalkulus, yang ia namai
kalkulus utilitarian. Terdapat tujuh (InDuCe ProF PurEx) faktor untuk menghitung hasil kalkulus
utilitarian:
-
Intensity (seberapa baik kualitas
kesenangannya);
-
Duration (seberapa lama merasakan
kesenangannya);
-
Certainity (seberapa pasti
mendapatkan kesenangan);
-
Propinquity (seberapa cepat
mendapatkan kesenangannya);
-
Fecondity (seberapa banyak
menghasilkan kesenangan lain);
-
Purity (seberapa baik kualitas
kesenangan lain yang akan dihasilkan);
-
Extent (seberapa banyak orang yang
merasakan kesenangan).
Inilah mengapa Bentham memiliki pandangan “The
greatest happiness for the greatest number of people.”
“Non-Hedonistic Mental State” Utility
Bentuk
ini adalah bentuk lanjutan dari Utilitas Hedonistik. Pembawa teori ini adalah
John Stuart Mill. Mill menolak pandangan kualitatif Bentham karena Ia
berpandangan bahwa Bentham tidak mengategorisasi kebahagiaan, sehingga manusia
dianggap sama dengan binatang lainnya.
Mill
menetapkan utilitas yang lebih kualitatif seperti yang ia katakan “lebih baik
menjadi Socrates yang berduka daripada babi yang bahagia.” Kelebihan dari
manusia terletak pada rasionalitas dan kedewasaannya. Manusia juga memiliki
asosiasi psikologis yang berwatak sosial; manusia bahagia melihat manusia lain
bahagia—pandangan ini lebih cenderung pada pandangan yang altruis bahwa
berkorban untuk kebahagiaan manusia lain itu merupakan kebaikan tertinggi
(tidak seperti Bentham yang bersifat individualistis).
Untuk
membuat suatu keputusan moral, diperlukan suatu kebebasan. Kebebasan di sini
adalah kebebasan berpendapat. Kebebasan didapatkan dengan memenuhi persyaratan
yaitu rasionalitas dan kedewasaan; hewan lain tidak memiliki kebebasan sepeti manusia—anak
kecil (belum rasional dan belum dewasa) itu berarti tidak bebas pula, maka
harus dilindungi oleh kedua orang tuanya. Untuk permasalahan kebebasan
perilaku, terdapat konsekuensi dari setiap perilaku—setiap pelaku yang
melakukan sesuatu dianggap secara rasional memahami dan bertanggung jawab atas
seluruh konsekuensi yang terjadi.
“Preference” Utility
Bentuk
ini adalah bentuk tandingan dari Utilitas non-Hedonistik. Pembawa teori ini
adalah Richard Mervyn Hare. Hare berpandangan bahwa statemen moral adalah
rekomendasi belaka (prescribe); utilitas bukan lagi kesenangan maupun kebahagiaan,
namun preferensi atau kesukaan pribadi. Rekomendasi berarti bersifat emotif,
namun juga merupakan imperatif; orang lain diharapkan untuk mengikutinya. Inilah mengapa teori Hare sering disebut
dengan preskriptivisme; lebih tepatnya adalah preskriptivisme universal.
Preskriptivisme
universal menggabungkan dua pandangan yaitu pandangan preskriptivisme dan
universabilitas. Pandangan universabilitas merupakan pandangan yang mencoba
untuk memvisualisasikan suatu maksim dari suatu prilaku kepada seluruh orang
yang ada di dalam konteks perilaku tersebut, lalu melihat apakah ada
kontradiksi dari perilaku tersebut atau “dapat diuniversalkan atau tidak.” Gabungan
antara universabilitas dengan preskriptivisme, membuat utilitas menjadi
bersifat preferensi; yaitu bahwa dalam berperilaku, kita harus memahami
preferensi korban (membunuh orang yang ingin dibunuh itu diperbolehkan).
Untuk
menentukan suatu putusan moral, hal yang terpenting adalah sebuah agregat, atau
kecocokan preferensi antara orang-orang yang ada di dalam konteks perilaku
tersebut yang menjadikan mereka dalam satu kelompok moralitas tertentu. Contoh sebelumnya,
ketika seorang pelaku dan korban bertemu, pelaku tersebut memiliki preferensi untuk
membunuh, sementara korban memiliki preferensi untuk dibunuh, maka keduanya
mencapai suatu bentuk agregat. Demikian pula dengan konteks perilaku yang lebih
besar seperti keputusan pemerintah, dll.
“Well-Informed Preference” Utility
Bentuk
ini adalah bentuk lanjutan dari utilitas preferensi. Pandangan ini dibawa oleh
Peter Singer. Utilitas dalam pandangan ini adalah kesejahteraan atau wellfare; berbeda dengan sebelumnya yang
merupakan kesenangan, kebahagiaan, maupun kesukaan pribadi.
Aksioma
moral yang menjadi landasan utama adalah kesetaraan preferensi. Maksud dari
kesetaraan itu adalah bahwa tidak ada preferensi yang lebih baik dari
preferensi yang lain; baik secara ras, jenis kelamin, maupun spesies—preferensi
manusia setara dengan hewan lainnya.
Tugas
utama setiap individu adalah mencegah terjadinya penderitaan. Untuk mencegah
penderitaan, maka setiap individu harus melakukan altruisme yang efektif. Altruisme
efektif dapat dipahami menggunakan analogi anak kecil yang tenggelam.
Bayangkan
ada seorang anak kecil tenggelam di tengah kolam yang kotor. Lantas, ada
seorang individu yang bisa menolong anak tersebut (bisa berenang), namun ia
memakai baju yang sangat bagus yang baru saja ia beli. Menurut altruisme
efektif, individu tersebut wajib menolong anak kecil itu dengan cara apapun
yang efektif menghilangkan penderitaan anak tersebut yang tenggelam—menolong secara
langsung dengan berenang lalu menarik anak tersebut ke tepi kolam. Alasan mengenai
bajunya yang kotor setelah menyelamatkan anak tersebut adalah tidak relevan,
karena tidak memiliki hubungan secara langsung baik dengan penderitaan sang
anak kecil tersebut maupun penderitaan individu tersebut. Yang demikian itu,
kesejahteraan dapat dicapai oleh kedua belah pihak—perlu digaris bawahi,
individu tersebut juga berkewajiban untuk mengajari anak tersebut cara berenang
agar penderitaan selanjutnya dapat dihindari.
Ketika
analogi ini diterapkan pada kasus kelaparan, maka yang kaya harus memberikan
makanan kepada yang kelaparan, agar penderitaan dapat dihapuskan. Lalu, yang
kaya juga harus memberikan semacam pekerjaan dan sebagainya untuk mencegah
kelaparan terjadi kembali. Perlu diingat, jika yang kaya dalam melakukan
altruisme tersebut justru membuat dirinya kelaparan, maka alasan tersebut
relevan karena ia menghapuskan penderitaan dengan menambah penderitaan yang
lain.
Di
sini, informasi yang baik dan lengkap akan konsekuensi suatu perilaku harus
didapatkan terlebih dahulu dalam melaksanakan altruisme. Mencegah penderitaan
berarti menghapus suatu penderitaan, sekaligus menjaga agar tidak terjadi
penderitaan kembali serta menghapusnya dengan tidak memunculkan penderitaan lain.
Dengan melakukan altruisme berlandaskan informasi yang salah, justru bisa saja
memunculkan penderitaan lain, penderitaan bisa saja muncul kembali, bahkan
penderitaan tidak terhapuskan sama sekali. Yang demikian itu, maka,
kesejahteraan bersama akan dapat dicapai serta dipertahankan sedemikian rupa.