Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]

Ini merupakan materi kedua yang diujikan dalam UAS mata kuliah Kebudayaan Indonesia. Seperti yang telah saya jelaskan kemarin, artikel ini bertujuan untuk teman-teman yang ingin (terpaksa) belajar namun cacatannya hilang (tidak mencatat). Semoga dengan adanya artikel ini, dapat membuat teman-teman lulus mata kuliah Kebudayaan Indonesia.

Suku Alune merupakan suku tertua di Provinsi Maluku. Tepatnya dikabupaten Maluku Tengah serta tersebar di pulau-pulau sekitarnya. Menurut Nelly Tobing, rata-rata penduduknya tinggal di daerah pantai. Mareka digolongkan dalam ras Mongoloid, berambut hitam kejur, kulitnya berwarna sawo matang, dan rata-rata tingginya sekitar 155-165 cm. Mereka percaya bahwa mereka merupakan keturunan suku Patasiwa. Beberapa orang menyebutnya orang Alifuru yang berarti "Manusia awal". Mereka juga percaya bahwa mereka berasal dari danau pada puncak gunung dipulau seram, itu lah mengapa beberapa orang juga menyebut mereka orang seram atau orang Nunusaku. Pada saat ini, Departemen Sosial mengkategorikan suku Alune sebagai suku yang terasingkan.

Mereka merupakan orang-orang yang ramah dan terbuka. Namun mereka sering berkelahi dalam pertemuan adat ataupun dalam menghadapi permasalahan. Mereka suka menghitamkan gigi. Sementara yang perempuan suka memakai kain kanune yaitu kain yang terbuat dari kulit kayu. Makanan pokok mereka adalah sagu, namun sekarang mulai beralih menjadi nasi.

Mereka menganggap keramat danau yang berada di puncak gunung di pulau seram. Mereka percaya, asal-usul manusia berawal dari mata ait dari danau tersebut. Sehingga, mereka kerap melakukan pengorbanan dan lain sebagainya untuk menghormati arwah (roh) nenek moyang yang tinggal di danau tersebut.

Mereka juga percaya, dalam merenovasi rumah harus melakukan pemenggalan kepala manusia. Itu dilakukan agar dalam prosesnya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (menolak bala). Wanita yang haid atau hamil juga harus diasingkan (penamou). Wanita yang hamil atau haid tidak boleh bertemu laki-laki sama sekali.

Sistem keturunan mereka menggunakan sistem Patrilineal (mengunggulkan garis keturunan laki-laki), dengan sistem tempat tinggal yang Patrilokal (tinggal di tempat laki-laki). Pergaulan remaja laki-laki dan perempuan tidak lah bebas. Mereka juga menggunakan perkawinan yang diawali dengan peminangan. Dalam prosesnya terdapat pemberian mas kawin. Jika mereka tidak direstui, mereka bisa melakukan kawin lari.

Mereka memakai bahasa melayu serta bahasa tana. Bahasa Tana adalah gabungan dari bahasa Portugis, Jepang, Belanda, Spanyol, dan Arab. Dapat dilihat pengaruh yang besar dari penjajah sehingga bahasa mereka tercampur-campur.

Mata Pencaharian mereka adalah berladang. Sistem berladang mereka adalah ladang berpindah dengan metode tebang-bakar. Mereka juga meramu sagu, karena dulunya makanan pokok mereka adalah sagu. Tanaman yang mereka tanam adalah ubi rambat, talas, pisang, dan sayur-sayuran. Lalu, ladang yang mereka tinggalkan, mereka tanami cengkeh dan buah-buahan. Sebagai pekerjaan sampingan, mereka juga menyadap getah pohon danar dan berburu binatang.

Mereka mayoritas Nasrani, sementara Islam adalah minoritas. Namun, mereka masih percaya kepada roh-roh nenek moyang. Sehingga mereka memberi makan, minum, dan tempat tinggal agar tidak mengganggu. Mereka juga percaya ada makhluk jahat yang menyebabkan penyakit. Itulah mengapa terdapat ritual cuci negara. Cuci negara itu seperti kerja bakti di Jawa. Akan tetapi, sekarang mereka mulai meninggalkan upacara-upacara roh tersebut.

Mereka mempunyai tarian khas yang bernama Tarian Cakalele. Tarian tersebut diikuti oleh 30 laki-laki serta perempuan. Laki-laki membawa parang di tangan kanan, serta salawaku (tameng) di tangan kirinya. Dengan memakai pakaian dominan warna merah serta topi alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Penari wanita menggunakan pakaian putih dan menggenggam lenso. Tarian tersebut diiringi oleh tifa (bedug), suling, dan bia (kerang besar) yang di tiup.

Dalam tarian tersebut terdapat beberapa simbolisasi. Simbolisasi tersebut adalah:

Merah adalah Berani
Putih adalah Suci
Pedang adalah Perjuangan
Tameng adalah Pertahanan
Saputangan adalah Pembersih

Tentunya simbolisasi tersebut mempunyai hubungan dengan Penjajah pada zamannya.
Dalam bidang hukum serta ketata negaraan, sistem tata negara mereka adalah kerajaan. Raja dipilih oleh saniri negeri (tetua kampung). Setelah 5 tahun kepemimpinan, sang raja boleh dipilih kembali. Penerus raja harus mempunyai hubungan darah dengan raja sebelumnya. Sistem pemilihan ini telah dijadikan SK bupati maluku tengah.

Merekapun mempunyai hukum pidana. Hukum pidana mereka adalah terserah kepala suku. Contohnya, jika ada yang mencuri maka diarak menuju kediaman kepala suku dan kepala suku yang akan menentukan hukuman untuk si pencuri tersebut. Lalu orang tersebut akan di kucilkan dan tidak di anggap sebagai warga alifuru lagi.

Dalam hal perkawinan, sistem yang mereka anut adalah patrilineal. Sebelum perkawinan dilakukan peminangan oleh mata rumah dan family pihak laki-laki. Mata rumah adalah sekelompok orang yang mengatur perkawinan warga dan pertanahan. Sementara family adalah keluarga yang mengatur klen (personal).

Terdapat hal yang dinamakan kawin masuk atau menua. Yaitu laki-laki yang tinggal di rumah si perempuan. Hal ini dikarenakan beberapa sebab yaitu: karena pihak laki-laki tdak bisa membayar mas kawin, atau si perempuan merupakan anak tunggal, atau keluarga laki-laki tidak merestui.

Dalam hal warisan, sesungguhnya mereka tidak mempunyai hal tersebut. Tetapi mereka percaya seluruh tanah dak kekayaan di dalamnya milik keturunan raja atau mel-mel (bangsa raja). Yang kemudian di atur oleh mata rumah.

Mereka mempunyai satu adat yang unik yang bernama Pela. Pela merupakan semacam ikatan (perjanjian) adat. Pela terlahir dari konflik internal warga maluku pada saat dahulu. Konflik tersebut menyebabkan perpecahan suku menjadi dua yaitu suku patasiwa (sembilan bagian) dan patalima (lima bagian). Solusi dari perpecahan tersebut adalah dengan diadakannya pela ini.

Pela memiliki makna persatuan, karena mereka mempersatukan dua suku yang konflik. Persaudaraan, karena setelah melakukan pela, mereka adalah saudara. Gotong-royong, karena setelah melakukan pela, mereka akan melakukan kerja sama dan melakukan kehidupan secara bersama sama.

Pela memiliki beberapa bentuk atau jenis. Yang pertama adalah Pela Gandong. Pela gandong adalah ikatan yang di dasarkan pada garis keturunan. Pela gandong mempunyai ikatan yang kuat serta sanksi yang tegas.

Lalu, kedua adalah Pela Tampa Siri. Pela Tampa Siri merupakan ikatan yang dilakukan karena ada kejadian tertentu (situasional). Contohnya bencana alam, hubungan ekonomi, dsb. Yang terakhir adalah Pela Keras. Pela Keras adalah ikatan yang dilakukan karena sejarah peperangan antar desa. Dengan tujuan untuk berdamai, mereka melakukan Pela Keras dengan cara ketua suku dari kedua suku tersebut meminum darah satu sama lain. Kesamaan dari ketiga pela tersebut adalah mereka tidak diperbolehkan untuk menikah antar suku tersebut. Ini dikarenakan mereka menganggap bahwa setelah malakukan Pela, mereka adalah saudara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib