Dikarenakan minggu depan merupakan minggu UAS, kali ini saya akan membahas Tradisi Palang Pintu dari Suku Betawi. Mengapa saya membahas tentang tradisi palang pintu, karena ini adalah bahan yang akan diujikan pada hari pertama UAS minggu depan tepatnya hari senin. Saya disini membahas tentang makna dan unsur kesenian maupun sastra dalam tradisi tersebut.
Tradisi palang pintu merupakan salah satu tradisi dalam proses pernikahan dalam adat Betawi. Untuk sekarang ini masih dilakukan oleh suku Betawi Tengah yang masih kental dengan nilai-nilai Islam. Tradisi ini bertujuan untuk menguji keseriusan pihak laki-laki terhadam pengantin perempuan. Tentunya, tolak ukurnya berasal dari nilai-nilai Islam.
Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk lulus dalam ujian Palang Pintu yaitu; Menang adu silat; dan lancar dalam membaca Al-Quran. Serta dalam prosesnya, komunikasi yang dilakukan dalam proses tradisi tersebut adalah dengan sastra. Terutama memakai sastra pantun Betawi. Di dalamnya terdapat unsur-unsur moral, nasihat, bahkan humor.
Menurut Duvall dan Miller (1985), Pernikahan adalah ikatan lahir batin dalam membina kehidupan keluarga. Akan tetapi, pernikahan tentulah tidak lepas dari pengaruh adat-istiadat setempat. Orang Betawi percaya bahwa menikah bertujuan untuk memenuhi kewajian dan perintah dari ajaran Islam. Mereka juga percaya bahwa pernikahan hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup. Itulah mengapa acara pernikahan di masyarakat Betawi selalu meriah dan besar.
Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan masyarakat Betawi dalam hal pernikahan, yaitu; Ngedelengin; Nglamar; Bawa tande putus; Buka palang pintu; Akad nikah; Acare negor; dan pulang tige ari. Pada kesempatan kali ini saya hanya fokus kepada Tradisi Palang Pintunya saja.
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, tradisi palang pintu bertujuan untuk menguji Ilmu dari pengantin laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang masyarakat Betawi. Dimana setiap kita pergi ke kampung lain, jawara setempat pasti akan menguji kemampuan kita sebagai pendatang. Semetara tradisi balas pantun yang merupakan komunikasi sastra, juga dilatar belakangi oleh adat masyarakat betawi secara turun-temurun.
Asal mula nama palang pintu, secara etimologis (asal usul kata) yaitu:
Palang adalah kayu atau balok yang dipasang melintang pada pintu atau jalan.
Pintu adalah lubang atau papan yang digunakan sebagai jalan keluar atau masuk.Secara struktur rumah betawi pun dapat dilihat bahwa mereka memakai palang pintu disetiap pintu masuk maupun keluar rumah. Agar mencegah maling untuk memasuki rumah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tradisi buka palang pintu adalah menguji apakah pengantin laki-laki bukanlah maling (orang yang merugikan). Nama palang pintu sendiri hanya digunakan oleh Betawi tengah dan kota. sementara betawi ora atau pinggiran menyebutnya "Rebut Dandang" atau "Tepuk Dandang".
Masyarakat Betawi membagi kewajiban gender menurut spasial atau ruang geraknya. Laki-laki jika berada dirumah berkewajiban untuk pendai mengaji agar bisa menjadi pemimpin. Sementara diluar, laki-laki haruslah pandai bersilat agar bisa melindungi keluarganya. Begitu juga dengan perempuan, dituntut untuk pandai mengaji dan memasak.
Terdapat pula tahapan-tahapan di dalam menjalankan proses palang pintu, yaitu; Shalawat Dustur; Balas Pantun; Beklai;dan Lantun sike. Pada saat prosesnya, pengantin pria dihalangi oleh jawara kampunya pengantin wanita. Lalu sang jawara kampung tersebut mengajukan beberapa persyaratan, yang intinya menantang berkelahi dan mengaji. Dengan seperti itu, kualitas pengantin laki-laki bisa dipastikan "berkualitas" menurut mereka.
Namun pada saat kontemporer (sekarang) ini, tradisi palang pintu diwakilkan oleh orang-orang yang dibayar. Mereka disebut dengan nama centeng. Mungkin dikarenakan masyarakat betawi sekarang mulai mengalami kemajuan intelektualitas. Akan tetapi tradisi ini tetap dijalankan dalam rangka melestarikan warisan nenek moyang mereka.
Dalam tradisi palang pintu terdapat beberapa orang yang melakukan proses tersebut. Dua jagoan dari pihak perempuan, satu jagoan dari pihak laki-laki, satu orang juru pantun dari masing-masing pihak, tiga pembaca shalawat dustur, dan satu pembaca sike.
Silat yang dipakai dalam beklai merupakan jenis silat cingkrik. Silat cingkrik berasal dari wilayah rawa belog daerah suka bumi utara dan kebon jeruk. Sekilas terlihat seperti tarian, akan tetapi kecepatan tangan dan kecepatan kakinya membuat kita yakin seperti sungguhan. Silat cingkrik sendiri merupakan murni bela diri. Namun sekarang juga didunakan sebagai seni pertunjukan.
Dalam prosesnya terdapat pembacaan lantunan sike. Lagu-lagu sike merupakan Shalawat Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, memakai nada sikkah (dalam ilmu tilawatil Quran) yang merupakan tingkatan nada tersulit dengan pola irama yang sangat kompleks dan indah. Dulu, setelah adu silat dan menang, penganti laki-laki dituntut untuk melantunkan lantunan sike. Bertujuan untuk menguji kepandaian mengaji dari pengantin laki-laki.
Unsur sastra yang terdapat dalam proses tersebut, menggunakan pantun Betawi. Pantun Betawi dinamai dengan Rancag. Rancag menggunakan dialek Betawi. Jika pada Betawi tengah, didominasi oleh huruf "e" seperti; iye, aye, dsb. Jika pada Betawi ora, didominasi oleh huruf "a" dan "h" seperti; iyah, dsb. Dialek Betawi identik dengan nada tegas dan cenderung ceplas-ceplos. Sehingga, saat melakukan pantun dituntut untuk memakai metode impromptu (tanpa rencana, spontan). Pantun Rancag selain digunakan sebagai estetika komunikasi, juga digunakan sebagai hiburan. Bahkan sesekali diselipkan nilai-nilai Islam untuk menunjukkan betapa kentalnya nilai Islam dalam tradisi Betawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar