“Persahabatan bagai kepompong merubah ulat menjadi kupu-kupu”, kutipan dari lirik lagu yang entah apa maksudnya meganalogikan persahabatan sebagai proses metamorfosis. Mungkin si pengarang lagu terinspirasi dari persahabatan platonik khas ala Plato. Berangkat dari Plato yang bersahabat dengan Sokrates (sang guru) dan Aristoteles (sang murid) menjadikan persahabatan tersebebut menjadi persahabatan antar filsuf. “Amicus Plato, sed magis amicca veritas atau Plato is dear to me, but truth is dearer, atau diterjemahkan bebas lagi menjadi I like Plato, but I like the trurh even more” begitulah kata Aristoteles mengenai persahabatannya dengan Plato. ”. Aristoteles menambahkan bahwa, “tampaknya lebih baik dan bahkan merupakan kewajiban, bila bersinggungan dengan kebenaran, untuk menolak apa yang diusulkan, terutama kalau itu antar kita para filsuf. Saat ada dua hal yang sama-sama berharganya, kewajiban kudus mengharuskannya untuk pertama-tama memilih kebenaran”. Satu pernyataan menarik bahwa kesetiaan pada kebenaran harus melebihi hubungan personal sedekat apapun. Bahkan, melebihi hubungan darah atau dalam satu keturunan sekalipun!. Maksudnya, persahabatan sebetulnya bukanlah menyoal kedekatan antara satu orang dengan orang lain tetapi ada hal yang lebih penting didalam persahabatan itu sendiri. Tapi jika saya telisik lebih lanjut persahabatan seperti apa yang dapat membuat kita menjadi lebih paham tentang arti kebenaran? Plato beranggapan “Kebenaran tertinggi itu adalah kebaikan, memang harus menjadi landasan persahabatan sejati”. Kebaikan lagi-lagi menjadi dasar argumen Plato dalam menilai kebenaran. Namun, kebaikan yang seperti apa yang dapat menuntun kita pada kebenaran?.
Mari kita buang jauh-jauh pandangan kebenaran itu, baik itu kebenaran logika, sains, ataupun kebenaran agama. Kebenaran disini saya andaikan sebagai kebaikan, karena menurut saya kebenaran adalah sesuatu yang sudah pasti baik. Mengapa demikan? Saya rasa dengan mengetahui kebenaran, sikap naluriah manusia akan terdorong ke arah yang lebih baik bagi prilaku didalam kehidupannya, sebagai contoh tentang ajaran dalam filsafat Confucianisme yang disebut dengan Chung. Chung adalah istilah untuk memberikan perlakuan baik sebagaimana kita ingin diperlakukan orang lain, dengan kata lain kita harus mengetahui kebenaran terlebih dahulu baru kita dapat melakukan hal-hal yang baik. Kebenaran atau kebaikan persahabatan ini terilhami oleh karya Plato yang berjudul ISIS Lysis. Menurut mbah buyut Plato, orang bersahabat karena adanya hasrat atau kekurangan akan sesuatu. Sebagai hasrat, kata Eros mewakili tiga jenis rasa kurang yang ada pada manusia seturut bagian bagian-bagian jiwa: epithumia, thumos, dan logistikon. (Wibowo, 2015:154). Persahabatan dapat muncul karena adanya rasa kurang pada kebaikan atau kebenaran. “Salah satu unsur cinta adalah kekurangan”. Apa yang dimaksud oleh Plato sebagai kekurangan disini? Bila kita ingin menjalin persahabatan (philia) dengan orang lain, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengetahui sesuatu yang “kurang” pada diri kita. “Kurang” disini bukan berarti kita tidak memiliki sesuatu, bukan sama sekali. “Kurang” yang dimaksud disini adalah kita sudah memiliki sesuatu, tetapi memang kurang kadarnya. Pada titik tersebut, bolehlah kita menyatakan bahwa persahabatan itu mewujud sebagai proses untuk menjadi “baik”. Jadi kita memposisikan diri sebagai orang yang “belum baik”. Persahabatan mengarahkan kita untuk menemukan sebagian kebaikan kita yang hilang pada diri orang lain. Itulah yang dimaksud Plato sebagai pentingnya persahabatan. Sebagai contoh kita memiliki kebaikan namun kadar kebaikan kita masih kurang banyak atau maksimal. Jadi, pada intinya relasi persahabatan itu mengarah pada upaya kita untuk mengisi kekurangan tersebut.
Ada orang yang saling bersahabat karena sama-sama suka Melody JKT48, sama-sama suka makan ayam kampus, sama-sama suka memelihara “tikus” dalam dirinya supaya tumbuh besar, kuat, dan bisa mengelak dari KPK. Kebaikan atau kebenaran yang dipegang dan dicari oleh keduanya sejauh hal-hal tersebut mereka anggap berguna untuk memenuhi hasrat atau rasa kurang diri mereka. Itulah yang menurut mbah buyut Plato sebagai kebaikan atau kebenaran epithumia (taraf nafsu-nafsu perut kebawah. Plato secara tegas menolak bahwa “yang sama” dapat bersahabata dengan “yang sama” karena “yang sama” toh tidak bisa menarik kegunaan apa pun dari “yang sama” maka, untuk apa mereka saling bersahabat? Kalau begitu, yang saling berlawananlah yang dpat saling bersahabat. Akan tetapi, tidak mungkin kiranya orang baik akan rela bersahabat dengan orang jahat. Lalu, jika “yang sama” tidak bisa bersahabat dengan “yang sama” (sama-sama baik/sama-sama jahat), apakah itu berarti bahwa persahabatan tersebut menjadi hal “yang berlawanan”?. Sebagai contoh, persahabatan antara orang miskin dengan orang kaya; orang lemah dengan orang kuat; dan orang bodoh dengan orang pintar. Namun hal itu ternyata juga ditolak oleh Plato. Sebab, ketika orang miskin bersahabat dengan orang kaya, yang menjadi objek persahabatan bukanlah si kaya, melainkan kekayaan si kaya agar dapat membantu si miskin atas kemiskinannya. Begitu pula dengan orang lemah ketika bersahabat dengan orang kuat; dan orang bodoh ketika bersahabat dengan orang pintar. Jadi, persahabatan mereka layaknya kata pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” tidak ada hal yang dapat diambil kebaikannya alias tidak bermutu. Kebaikan atau kebenaran ditingkat ini merupakan kebenaran yang bersifat irasional karena ia menuntut dipuasi tanpa henti-henti dengan resiko menghancurkan integritas manusia.
Ada juga orang yang saling bersahabat karena sama-sama memiliki ambisi politis, memiliki harga diri untuk membela oshi X atau oshi Y. Bagi orang yang bersahabat pada tataran ini, yang menyatukan mereka adalah Kebaikan atau kebenaran dalam arti “ambisi, kekuasaan, dan harga diri oshi”. Mempertahankan diri sebagai fans dari Melody JKT48 adalah “harga mati”, membela nama kelompok adalah semangat yang harus dilakoni walau harus masuk black list JOT penjara sekalipun. Kebaikan atau Kebenaran pada tingkatan ini dinamakan thumos (dada) tempat bercokolnya rasa bangga diri, dan harga diri. Kebaikan atau kebenaran ini masih saja tetap irasional karena ambisi dan harga diri bisa menjadi berlebihan dan membahayakan manusia itu sendiri.
Pada akhirnya orang harus saling bersahabat karena ada sebuah nilai yang melampaui nafsu dan harga diri. Kebaikan atau kebenaran di sini adalah sesuatu yang abstrak. Ada yang bersahabat karena nilai keadilan, Jono mengidolakan Melody karena nilai kesetiaan meskipun Veranda sangat menggoda dengan senyum khas bidadarinya. Kebaikan atau kebenaran ini bersifat abstrak namun tetap mereka kejar karena berguna bagi hidup mereka. Nilai kegunaan disini bukan lagi bersifat fisik atau utilitaris (untung-rugi), melaikan memang layak untuk dipilih, dan memiliki nilai tersendiri untuk dihayati. Pada tingkatan ini persahabatan muncul karena orang mencintai nilai (keadilan, kesetian, kebenaran sejati). Orang yang mencintai nilai abstrak ini dapat mengendalikan egoisme harga diri (thumos) maupun nafsu akan hal-hal yang bersifat materi (epithumia). Tingkatan inilah yang dimaksud mbah buyut Plato sebagai kebaikan atau kebenaran yang dilandaskan pengetahuan (artinya rasional), sebuah kebaikan atau kebenaran yang dengan sendirinya sudah baik ataupun benar atau kebenaran biarlah benar. Kebaikan atau kebenaran di tingkat ini disebut logistikon. Kebaikan atau kebenaran inilah yang akan memberikan efek bahagia melebihi disapa Melody. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kita bisa beraspirasi pada kebaikan? Plato menganggap bahwa bukan karena nafsu dan harga diri orang-orang menjadi bersahabat, melaikan karena pengetahuan (logos) kita menghasrati pada kebaikan. Dan, oleh karena pengetahuan menghasrati kebaikan, menurut Plato kita pun sesungguhnya seketurunan dengan kebaikan, bahkan lebih seketurunan daripada dengan orangtua sendiri. Hanya dengan beraspirasi pada Kebaikanlah jiwa seseorang menemukan relasi seketurunan dengan obyek persahabatan miliknya yang paling khas (oikeion). Ada hal yang cukup penting untuk kita sorot disini, setelah kita paham tentang relasi persahabatan di atas, kita harus sadar, bahwa relasi persahabatan itu tidak bersifat resiprokal karena sekali lagi saya tekankan bahwa tujuan atau horizon persahabatan adalah sebuah kebaikan. Kita tidak bisa bersikap pilih-pilih atau bersikap utilis “apa yang diberi dan kepada siapa memberi”. Karena yang dituju disini bukan nafsu-nafsu rendah (epithumea), kebanggaan atau harga diri (thumos), melainkan pengetahuan (rasio).
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya nafsu dan sifat bangga diri tentang sesuatu yang irasional seperti epithumia dan thumos maka manusia akan mengalami pertentangan batin, serta konflik psikologis karena diri kita akan terus menerus ditutuntut untuk memenuhi keinginan tersebut. Di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran yang berasal bermanfaat bagi dari dirinya sendiri bukan kebenaran yang mengawang-awang seperti nafsu. Benarlah pula analogi diawal tentang metamorfosis diri dari ulat menjadi kupu-kupu, persahabatan haruslah merubah kita kearah yang lebih baik dan hanya dengan pengetahuanlah persahabatan akan menjadi lebih baik.
Saya rasa jika kita memeriksa dan mengamalkan ajaran mbah buyut Plato tentang kebenaran persahabatan, kebaikan atau kebenaran yang berdasarkan pengetahuan atau kecintaan tehadap nilai yang akan menjadi membimbing kita arah yang jelas dalam hubungan kebenaran dan persahabatan. Jadi disini saya dapat mengambil kesimpulan mengapa lembaga berskala Internasional mengambil nama Commission of Truth and Friendship (CTF) karena harapan mereka agar dapat memperoleh kebenaran yang bersumber pada pengetahuan yang baik, sehingga hubungan persahabatan antara Indonesia dan Timor Leste dilandasi oleh kebaikan dan kebenaran yang bertujuan kearah pengetahuan.
Oleh : Muhammad Nur Alam Tejo
Oleh : Muhammad Nur Alam Tejo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar