Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]


Mahatma Gandhi
            Terdapat dua kata kunci dari pemikiran Gandhi yaitu Ahimsa dan Satya. Kata kunci pertama adalah Ahimsa. Ahimsa atau Nir-kekerasan/anti-kekerasan, merupakan ajaran yang ditawarkan oleh Gandhi kepada pihak Barat, penjajah. Ajaran Ahimsa merujuk kepada kitab Manusmriti, bahwa seorang pengikut Ahimsa adalah seorang vegetarian dan tidak membunuh maupun melukai makhluk. Secara detail, Ahimsa adalah tugas utama dari setiap kasta Hindu, dengan kata lain, tugas utama seluruh manusia.
            Satya atau Truth merupakan kata kunci yang kedua. Beliau menekankan bahwa kebenaran adalah Tuhan, Truth is God. Ketika dipikir lebih mendalam, memang lebih cocok bahwa kebenaran adalah Tuhan, bukan Tuhan adalah kebenaran, karena dari kalimat “kebenaran adalah Tuhan” menunjukkan bahwa kebenaran merupakan elemen dari Tuhan dan Tuhan lebih besar serta tinggi daripada kebenaran itu sendiri. Selain itu, Satya atau Sat merupakan landasan dari konsep Sat-Chit-Ananda. Ketika ada kebenaran, maka ada pengetahuan (Chit) yang benar. Ketika ada pengetahuan yang benar, maka pasti ada kebahagiaan (Ananda). Untuk menyadari Tuhan, maka harus menyadari kebenaran, karena kebenaran adalah Tuhan. Untuk menyadari kebenaran, maka harus melakukan bhakti, kesetiaan, pengorbanan, penyerahan diri seutuhnya.

Muhammad Iqbal
            Kata kunci dari pemikiran Muhammad Iqbal adalah ego dan the ultimate ego. Berbicara tentang ego, maka pasti berbicara tentang diri dan manusia. Baginya ego merupakan penyusun, yang menjadikan manusia menjadi manusia. Menurutnya, ego merupakan satu kesatuan yang nyata dan landasan dari suatu kehidupan, merupakan hal yang kreatif serta terarah maupun tersusun secara rasional. Ego bukan hanya aktivitas pikir, namun juga aktivitas kehendak—tindakan, harapan dan keinginan—yang akan terefleksikan kepada tubuh secara spontan. Akan tetapi, ego tidak terbentuk secara spontan. Ego terbentuk dari Realitas Tertinggi (The Ultimate Reality) yang mana direfleksikan oleh Ego tertinggi (The Ultimate Ego). Ego tertinggi tersebut merupakan Tuhan, dimana kualitas ego diukur dengan seberapa dekat kualitas ego dia dengan kualitas The Ultimate Ego. Dengan demikian, peran agama disini adalah sebagai alat untuk mengevolusikan kualitas ego agar semakin mendekati kualitas The Ultimate Ego.

Radhakrishnan
            Menurutnya terdapat lima pengalaman yang dapat dirasakan manusia: (1) Pengalaman kognitif; (2) Pengalaman fisik; (3) Pengalaman keindahan; (4) Pengalaman etika; (5) Pengalaman religius. Dia menyamakan intuisi dengan pengalaman religius, religious experience. Dengan demikian intuisi muncul, didapatkan dengan melalui pengalaman religius, spiritual. Pengalaman religius adalah tingkat pengalaman tertinggi yang dapat dirasakan manusia.
            Terdapat lima klasifikasi pengalaman religius, dari tinggi ke rendah: (1) menyembah sang Absolut; (2) menyembah Tuhan yang personal; (3) menyembah penjelmaan Tuhan, seperti Rama, Buddha, dan sebagainya; (4) menyembah nenek moyang, dewa-dewa dan kebijaksanaan; (5) menyembah kekuatan halus (supranatural) dan roh. Menurutnya agama (secara universal) haruslah saintifik dan berlandaskan kepada fakta-fakta atau bukti-bukti nyata, kemudian fakta tersebut ditangkap dengan jalan intuisi atau pengalaman religius.

Ras Vihari Das
            Dia berbicara mengenai hubungan antara percaya dan pengetahuan, believe and knowledge. Sebelum pengetahuan didapatkan, seseorang harus percaya sesuatu tersebut terlebih dahulu. Contohnya seperti ketika membaca buku tentang matematika, maka sebenarnya sebelum membaca buku, pembaca percaya bahwa dengan membaca buku matematika tersebut akan mendapatkan pengetahuan mengenai matematika, karena ketika tidak percaya bahwa buku dapat memberikan pengetahuan, maka pasti tidak akan membaca buku. Begitu pula ketika dikaitkan dengan Tuhan, untuk mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan, maka harus percaya terlebih dahulu bahwa pengalaman hidup anda akan membawa anda untuk mendapatkan pengetahuan mengenai Tuhan. Setelah percaya, maka selanjutnya yang dilakukan adalah refleksi kritis, critical reflection. Refleksi kritis yang dimaksud adalah refleksi kritis mengenai antara apa yang anda percaya dengan pengalaman apa yang anda dapat, sesuai atau tidak. Dengan jalan percaya serta refleksi kritis, maka pengetahuan tentu akan dicapai, yaitu pengetahuan yang sesungguhnya.

Vandana Shiva
            Dia melakukan kritik terhadap ilmu pengetahuan. Baginya, ilmu pengetahuan terlalu bersifat maskulin, mengeksplorasi, mengeksploitasi, merusak, menghancurkan dan mengarah kepada wujud patriarki. Sifat dan wujud tersebut berawal dari pemikiran Sir Francis Bacon yang mengatakan bahwa “Knowledge is Power”. Tentu sifat dan wujud dari pengetahuan tersebut kontradiksi dengan sifat dan wujud alam semesta. Menurutnya alam semesta bersifat feminin, memberi, menghidupkan, menjaga, merawat dan mengarah kepada wujud matriarkal. Dengan hal tersebut, dia menekankan bahwa ilmu pengetahuan haruslah berubah dari yang sebelumnya mengeksplorasi, mengeksploitasi dan merusak alam semesta, menjadi ilmu pengetahuan yang memberi, menghidupkan, menjaga serta merawat alam semesta.

Gayatri Spivak
            Pada era post-kolonialisme, atau era hancurnya kolonialisme, kolonialisme berubah menjadi kolonialisme bentuk baru yaitu kolonialisme tidak langsung yakni sektor ideologi, ekonomi, sosial dan budaya. Kolonialisme bentuk baru tersebut bergerak secara halus dan menghegemoni target sehingga target kolonialisme bentuk baru tidak merasa dikolonialisasi, justru merasa nyaman, terlena, bahkan ingin terus menerus dikolonialisasi. Dengan ini Spivak berpikir bahwa hal yang harus dimiliki oleh setiap orang adalah sikap kritis terhadap sesuatu, karena sikap kritis akan menghancurkan hegemoni dan kolonialisme bentuk baru. Baginya setiap orang harus mempelajari dan memahami filsafat, karena filsafat mendidik sikap kritis di dalam diri orang yang mempelajarinya. Maka dari itu, Spivak beranggapan bahwa peran filsafat pada era post-kolonialisme adalah mencerahkan dan menumbuhkan sikap kritis pada setiap orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib