Mahatma Gandhi
Terdapat dua kata kunci dari
pemikiran Gandhi yaitu Ahimsa dan Satya. Kata kunci pertama adalah Ahimsa.
Ahimsa atau Nir-kekerasan/anti-kekerasan, merupakan ajaran yang ditawarkan oleh
Gandhi kepada pihak Barat, penjajah. Ajaran Ahimsa
merujuk kepada kitab Manusmriti,
bahwa seorang pengikut Ahimsa adalah
seorang vegetarian dan tidak membunuh maupun melukai makhluk. Secara detail, Ahimsa adalah tugas utama dari setiap
kasta Hindu, dengan kata lain, tugas utama seluruh manusia.
Satya
atau Truth merupakan kata kunci
yang kedua. Beliau menekankan bahwa kebenaran adalah Tuhan, Truth is God. Ketika dipikir lebih mendalam,
memang lebih cocok bahwa kebenaran adalah Tuhan, bukan Tuhan adalah kebenaran,
karena dari kalimat “kebenaran adalah Tuhan” menunjukkan bahwa kebenaran
merupakan elemen dari Tuhan dan Tuhan lebih besar serta tinggi daripada
kebenaran itu sendiri. Selain itu, Satya
atau Sat merupakan landasan dari
konsep Sat-Chit-Ananda. Ketika ada
kebenaran, maka ada pengetahuan (Chit)
yang benar. Ketika ada pengetahuan yang benar, maka pasti ada kebahagiaan (Ananda). Untuk menyadari Tuhan, maka
harus menyadari kebenaran, karena kebenaran adalah Tuhan. Untuk menyadari
kebenaran, maka harus melakukan bhakti,
kesetiaan, pengorbanan, penyerahan diri seutuhnya.
Muhammad Iqbal
Kata kunci dari pemikiran Muhammad
Iqbal adalah ego dan the ultimate ego.
Berbicara tentang ego, maka pasti berbicara tentang diri dan manusia. Baginya
ego merupakan penyusun, yang menjadikan manusia menjadi manusia. Menurutnya, ego
merupakan satu kesatuan yang nyata dan landasan dari suatu kehidupan, merupakan
hal yang kreatif serta terarah maupun tersusun secara rasional. Ego bukan hanya
aktivitas pikir, namun juga aktivitas kehendak—tindakan, harapan dan keinginan—yang
akan terefleksikan kepada tubuh secara spontan. Akan tetapi, ego tidak terbentuk
secara spontan. Ego terbentuk dari Realitas Tertinggi (The Ultimate Reality) yang mana direfleksikan oleh Ego tertinggi (The Ultimate Ego). Ego tertinggi
tersebut merupakan Tuhan, dimana kualitas ego diukur dengan seberapa dekat kualitas
ego dia dengan kualitas The Ultimate Ego.
Dengan demikian, peran agama disini adalah sebagai alat untuk mengevolusikan
kualitas ego agar semakin mendekati kualitas The Ultimate Ego.
Radhakrishnan
Menurutnya terdapat lima pengalaman
yang dapat dirasakan manusia: (1) Pengalaman kognitif; (2) Pengalaman fisik; (3)
Pengalaman keindahan; (4) Pengalaman etika; (5) Pengalaman religius. Dia menyamakan
intuisi dengan pengalaman religius, religious
experience. Dengan demikian intuisi muncul, didapatkan dengan melalui
pengalaman religius, spiritual. Pengalaman religius adalah tingkat pengalaman
tertinggi yang dapat dirasakan manusia.
Terdapat lima klasifikasi pengalaman
religius, dari tinggi ke rendah: (1) menyembah sang Absolut; (2) menyembah
Tuhan yang personal; (3) menyembah penjelmaan Tuhan, seperti Rama, Buddha, dan
sebagainya; (4) menyembah nenek moyang, dewa-dewa dan kebijaksanaan; (5)
menyembah kekuatan halus (supranatural) dan roh. Menurutnya agama (secara
universal) haruslah saintifik dan berlandaskan kepada fakta-fakta atau
bukti-bukti nyata, kemudian fakta tersebut ditangkap dengan jalan intuisi atau
pengalaman religius.
Ras Vihari Das
Dia berbicara mengenai hubungan
antara percaya dan pengetahuan, believe
and knowledge. Sebelum pengetahuan didapatkan, seseorang harus percaya
sesuatu tersebut terlebih dahulu. Contohnya seperti ketika membaca buku tentang
matematika, maka sebenarnya sebelum membaca buku, pembaca percaya bahwa dengan
membaca buku matematika tersebut akan mendapatkan pengetahuan mengenai
matematika, karena ketika tidak percaya bahwa buku dapat memberikan
pengetahuan, maka pasti tidak akan membaca buku. Begitu pula ketika dikaitkan
dengan Tuhan, untuk mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan, maka harus percaya terlebih
dahulu bahwa pengalaman hidup anda akan membawa anda untuk mendapatkan pengetahuan
mengenai Tuhan. Setelah percaya, maka selanjutnya yang dilakukan adalah
refleksi kritis, critical reflection.
Refleksi kritis yang dimaksud adalah refleksi kritis mengenai antara apa yang
anda percaya dengan pengalaman apa yang anda dapat, sesuai atau tidak. Dengan jalan
percaya serta refleksi kritis, maka pengetahuan tentu akan dicapai, yaitu
pengetahuan yang sesungguhnya.
Vandana Shiva
Dia melakukan kritik terhadap ilmu
pengetahuan. Baginya, ilmu pengetahuan terlalu bersifat maskulin,
mengeksplorasi, mengeksploitasi, merusak, menghancurkan dan mengarah kepada
wujud patriarki. Sifat dan wujud tersebut berawal dari pemikiran Sir Francis
Bacon yang mengatakan bahwa “Knowledge is Power”. Tentu sifat dan wujud dari
pengetahuan tersebut kontradiksi dengan sifat dan wujud alam semesta. Menurutnya
alam semesta bersifat feminin, memberi, menghidupkan, menjaga, merawat dan
mengarah kepada wujud matriarkal. Dengan hal tersebut, dia menekankan bahwa ilmu
pengetahuan haruslah berubah dari yang sebelumnya mengeksplorasi, mengeksploitasi
dan merusak alam semesta, menjadi ilmu pengetahuan yang memberi, menghidupkan,
menjaga serta merawat alam semesta.
Gayatri Spivak
Pada era post-kolonialisme, atau era hancurnya
kolonialisme, kolonialisme berubah menjadi kolonialisme bentuk baru yaitu
kolonialisme tidak langsung yakni sektor ideologi, ekonomi, sosial dan budaya. Kolonialisme
bentuk baru tersebut bergerak secara halus dan menghegemoni target sehingga
target kolonialisme bentuk baru tidak merasa dikolonialisasi, justru merasa
nyaman, terlena, bahkan ingin terus menerus dikolonialisasi. Dengan ini Spivak berpikir
bahwa hal yang harus dimiliki oleh setiap orang adalah sikap kritis terhadap
sesuatu, karena sikap kritis akan menghancurkan hegemoni dan kolonialisme
bentuk baru. Baginya setiap orang harus mempelajari dan memahami filsafat,
karena filsafat mendidik sikap kritis di dalam diri orang yang mempelajarinya. Maka
dari itu, Spivak beranggapan bahwa peran filsafat pada era post-kolonialisme
adalah mencerahkan dan menumbuhkan sikap kritis pada setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar