Metafisika adalah cabang dari filsafat
sistematis yang membahas tentang hakikat “yang ada” atau “realitas.” Banyak yang
beranggapan bahwa metafisika merupakan dasar dari filsafat itu sendiri. Dengan kata
lain metafisika adalah sebagai awal “yang mendasari” dan akhir “yang merangkum”
filsafat itu sendiri. Meskipun begitu, metafisika juga tidak dapat dipisahkan
dengan epistemologi, yaitu cabang dari filsafat sistematis yang membahas
tentang hakikat “pengetahuan.” Hal tersebut dikarenakan realitas pun tidak
dapat dipisahkan dari pengetahuan kita akan realitas tersebut. Begitu juga
dengan pengetahuan, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari realitas yang
diketahui. Dengan demikian, metafisika dan epistemologi merupakan dua hal yang
saling ketergantungan secara logis.
Dalam mempelajari metafisika, terdapat
beberapa pendekatan dalam mempelajarinya: historis, sistematis, kontekstual,
dan tematik. Pendekatan historis merupakan pendekatan yang menggunakan
periodisasi dalam mempelajarinya, seperti metafisika pra-modern hingga kontemporer.
Pendekatan sistematis merupakan pendekatan yang fokus menjawab problem-problem metafisik,
seperti “apa itu realitas?” dan sebagainya. Pendekatan kontekstual merupakan
pendekatan yang fokus pada analisis masalah-masalah yang nyata dengan
menggunakan sudut pandang metafisika, seperti “metafisika korupsi” dan
sebagainya. Pendekatan tematik adalah pendekatan yang fokus pada pembahasan
tema-tema yang terdapat di dalam metafisika, seperti “metafisika substansi” dan
sebagainya.
Dalam berfilsafat, selalu terdapat
asumsi-asumsi metafisik di dalamnya. Asumsi-asumsi inilah yang menyebabkan
munculnya metode metafisika. Terdapat dua macam metode metafisika: metode
khusus dan metode umum. Metode khusus adalah metode yang digunakan para filsuf
dalam membentuk sistem filsafatnya, macamnya adalah: kebidanan, dialog,
geometri, kritik, eksperimental, dan sebagainya. Sementara itu, metode umum
adalah metode yang disebut sebagai khas filsafat. Metode umum dikembangkan dari
metode khusus. Contoh dari metode umum adalah abstraksi dan dialektika. Abstraksi
merupakan skema aristotelian yang mengasumsikan bahwa realitas dibagi menjadi dua
hal: substansi dan aksidensia. Sementara itu, dialektika mengasumsikan realitas
adalah kemenjadian, tesis – antitesis – sintesis.
Dialektika sendiri terdapat tiga wujud:
terpisah, melebur, dan secara bersamaan. Dialektika terpisah seperti yang
diusulkan oleh Fichte, bahwa tesis dan antitesis tidak memiliki hubungan dan
terpisah sepenuhnya hingga muncul sintesis. Dialektika melebur seperti yang
diusulkan oleh Scheller, bahwa tesis dan antitesis melebur menjadi sintesis.
Dialektika secara bersamaan seperti yang diusulkan oleh Hegel, bahwa tesis dan
antitesis berjalan secara paralel, bersamaan, hingga menjadi sintesis.
Perlu dipahami lebih lanjut bahwa terminologi
sintesis di sini berbeda dengan terminologi sintesis oleh Kant. Menurut Kant,
pernyataan sintetis didapatkan melalui pengelaman empiris atau aposteriori. Sementara
itu, pernyataan analisis didapatkan sebelum pengalaman atau apriori. Hingga akhirnya,
Kant menawarkan bahwa ilmu pengetahuan haruslah sintesis – apriori.
Dialektika juga memiliki dua corak:
tertutup dan terbuka. Corak tertutup adalah corak yang menyatakan bahwa
dialektika memiliki puncaknya. Contohnya
seperti Hegel yang menganggap bahwa bentuk ideal adalah akhir dari dialektika,
seperti Marx yang menganggap bahwa bentuk komunal adalah akhir dari dialektika,
seperti Comte yang menganggap bahwa bentuk positivistik adalah akhir dari
dialektika. Sementara itu, corak terbuka adalah corak yang menyatakan bahwa dialektika
itu tidak terbatas dan tiada akhir. Contohnya seperti Van Peursen. Dia
menyatakan bahwa dialektika manusia berawal dari religius, menuju ke metafisik,
lalu ke fungsional, lalu ke tahapan selanjutnya yang belum ia ketahui dan belum
berani ia pastikan, begitu seterusnya hingga tiada akhirnya, dinamis tanpa
akhir.
Selain itu, terdapat pula metode umum
fenomenologi. Fenomenologi diawali oleh Spielgelberg di dalam bukunya a phenomenological movement. Fenomenologi
adalah menganalisis realitas melalui fenomena atau gejala-gejala yang muncul
yang lalu masuk ke dalam kesadaran melalui intensionalitas subjek hingga subjek
memahami esensi realitas tersebut. Terdapat banyak macam fenomenologi:
psikologis (Franz Bertano), transendental (Husserl), eksistensial (Heidegger,
Sartre, Jaspers, dan Marcell), dan hermeneutik (Ricoeur). Terutama hermeneutika
sendiri mengasumsikan bahwa realitas adalah teks atau rajutan dari tanda-tanda,
di mana tanda-tanda tersebut kemudian ditafsirkan lebih lanjut.
Problem sentral metafisika sendiri, menurut
Bakker, adalah “pengada,” dapat di artikan “ada” sebagai kata kerja. Driyarkara
lah yang merumuskan problem sentral tersebut. Berikut adalah problem turunan
dari pengada: apakah pengada itu satu atau banyak? Apakah pengada itu statis
atau dinamis? Apakah pengada itu materi atau rohani? Apakah pengada itu
memiliki ciri homogen? Apakah pengada itu bernilai atau tidak? Apakah terdapat
norma ontologis yang bersifat transendental terhadap pengada?
Terdapat bermacam jawaban terhadap
pertanyaan pertama. Ada yang berpendapat monisme atau satu, ada yang
berpendapat banyak atau pluralisme. Pendapat yang menengahinya adalah dualisme
atau dua pengada, itu pun di dalamnya terdapat banyak pendapat juga: materi
lebih tinggi dari roh; roh lebih tinggi dari materi; materi dan roh saling
berinteraksi; materi dan roh berjalan secara paralel dan; materi dan roh adalah
bertentangan.
Dalam menjawab berbagai pertanyaan
tersebut, Bakker menyusun struktur realitas bahwa terdapat empat tingkatan: 1.
fisik-khemis (anorganik); 2. biotis (tumbuh); 3. psikis (mental); 4. humanis
(kemanusiaan). Semakin besar angka maka semakin tinggi tingkatannya. Tingkat bawah
mendasari tingkat di atasnya, sementara tingkat atas mempribadikan, merefleksikan
tingkat di bawahnya. Tingkatan humanis memang hanya dapat diobservasi dari
manusia seperti: ekonomi, politik, sosial, budaya, dan religius. Sisi religius
sendiri ditafsirkan sebagai kemampuan dalam menangkap tanda-tanda dari yang
transenden.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa realitas
itu sangatlah kompleks, namun dapat dimengerti. Dapat dimengerti bahwa realitas
itu sendiri bersifat bipolar: statis – dinamis; jasmani – rohani maupun; otonom
– koordinasi.
Sumber: materi perkuliahan dari Prof. Joko Siswanto, di kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar