Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]


Metafisika adalah cabang dari filsafat sistematis yang membahas tentang hakikat “yang ada” atau “realitas.” Banyak yang beranggapan bahwa metafisika merupakan dasar dari filsafat itu sendiri. Dengan kata lain metafisika adalah sebagai awal “yang mendasari” dan akhir “yang merangkum” filsafat itu sendiri. Meskipun begitu, metafisika juga tidak dapat dipisahkan dengan epistemologi, yaitu cabang dari filsafat sistematis yang membahas tentang hakikat “pengetahuan.” Hal tersebut dikarenakan realitas pun tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan kita akan realitas tersebut. Begitu juga dengan pengetahuan, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari realitas yang diketahui. Dengan demikian, metafisika dan epistemologi merupakan dua hal yang saling ketergantungan secara logis.

Dalam mempelajari metafisika, terdapat beberapa pendekatan dalam mempelajarinya: historis, sistematis, kontekstual, dan tematik. Pendekatan historis merupakan pendekatan yang menggunakan periodisasi dalam mempelajarinya, seperti metafisika pra-modern hingga kontemporer. Pendekatan sistematis merupakan pendekatan yang fokus menjawab problem-problem metafisik, seperti “apa itu realitas?” dan sebagainya. Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang fokus pada analisis masalah-masalah yang nyata dengan menggunakan sudut pandang metafisika, seperti “metafisika korupsi” dan sebagainya. Pendekatan tematik adalah pendekatan yang fokus pada pembahasan tema-tema yang terdapat di dalam metafisika, seperti “metafisika substansi” dan sebagainya.

Dalam berfilsafat, selalu terdapat asumsi-asumsi metafisik di dalamnya. Asumsi-asumsi inilah yang menyebabkan munculnya metode metafisika. Terdapat dua macam metode metafisika: metode khusus dan metode umum. Metode khusus adalah metode yang digunakan para filsuf dalam membentuk sistem filsafatnya, macamnya adalah: kebidanan, dialog, geometri, kritik, eksperimental, dan sebagainya. Sementara itu, metode umum adalah metode yang disebut sebagai khas filsafat. Metode umum dikembangkan dari metode khusus. Contoh dari metode umum adalah abstraksi dan dialektika. Abstraksi merupakan skema aristotelian yang mengasumsikan bahwa realitas dibagi menjadi dua hal: substansi dan aksidensia. Sementara itu, dialektika mengasumsikan realitas adalah kemenjadian, tesis – antitesis – sintesis.

Dialektika sendiri terdapat tiga wujud: terpisah, melebur, dan secara bersamaan. Dialektika terpisah seperti yang diusulkan oleh Fichte, bahwa tesis dan antitesis tidak memiliki hubungan dan terpisah sepenuhnya hingga muncul sintesis. Dialektika melebur seperti yang diusulkan oleh Scheller, bahwa tesis dan antitesis melebur menjadi sintesis. Dialektika secara bersamaan seperti yang diusulkan oleh Hegel, bahwa tesis dan antitesis berjalan secara paralel, bersamaan, hingga menjadi sintesis.

Perlu dipahami lebih lanjut bahwa terminologi sintesis di sini berbeda dengan terminologi sintesis oleh Kant. Menurut Kant, pernyataan sintetis didapatkan melalui pengelaman empiris atau aposteriori. Sementara itu, pernyataan analisis didapatkan sebelum pengalaman atau apriori. Hingga akhirnya, Kant menawarkan bahwa ilmu pengetahuan haruslah sintesis – apriori.

Dialektika juga memiliki dua corak: tertutup dan terbuka. Corak tertutup adalah corak yang menyatakan bahwa dialektika memiliki puncaknya.  Contohnya seperti Hegel yang menganggap bahwa bentuk ideal adalah akhir dari dialektika, seperti Marx yang menganggap bahwa bentuk komunal adalah akhir dari dialektika, seperti Comte yang menganggap bahwa bentuk positivistik adalah akhir dari dialektika. Sementara itu, corak terbuka adalah corak yang menyatakan bahwa dialektika itu tidak terbatas dan tiada akhir. Contohnya seperti Van Peursen. Dia menyatakan bahwa dialektika manusia berawal dari religius, menuju ke metafisik, lalu ke fungsional, lalu ke tahapan selanjutnya yang belum ia ketahui dan belum berani ia pastikan, begitu seterusnya hingga tiada akhirnya, dinamis tanpa akhir.

Selain itu, terdapat pula metode umum fenomenologi. Fenomenologi diawali oleh Spielgelberg di dalam bukunya a phenomenological movement. Fenomenologi adalah menganalisis realitas melalui fenomena atau gejala-gejala yang muncul yang lalu masuk ke dalam kesadaran melalui intensionalitas subjek hingga subjek memahami esensi realitas tersebut. Terdapat banyak macam fenomenologi: psikologis (Franz Bertano), transendental (Husserl), eksistensial (Heidegger, Sartre, Jaspers, dan Marcell), dan hermeneutik (Ricoeur). Terutama hermeneutika sendiri mengasumsikan bahwa realitas adalah teks atau rajutan dari tanda-tanda, di mana tanda-tanda tersebut kemudian ditafsirkan lebih lanjut.

Problem sentral metafisika sendiri, menurut Bakker, adalah “pengada,” dapat di artikan “ada” sebagai kata kerja. Driyarkara lah yang merumuskan problem sentral tersebut. Berikut adalah problem turunan dari pengada: apakah pengada itu satu atau banyak? Apakah pengada itu statis atau dinamis? Apakah pengada itu materi atau rohani? Apakah pengada itu memiliki ciri homogen? Apakah pengada itu bernilai atau tidak? Apakah terdapat norma ontologis yang bersifat transendental terhadap pengada?

Terdapat bermacam jawaban terhadap pertanyaan pertama. Ada yang berpendapat monisme atau satu, ada yang berpendapat banyak atau pluralisme. Pendapat yang menengahinya adalah dualisme atau dua pengada, itu pun di dalamnya terdapat banyak pendapat juga: materi lebih tinggi dari roh; roh lebih tinggi dari materi; materi dan roh saling berinteraksi; materi dan roh berjalan secara paralel dan; materi dan roh adalah bertentangan.

Dalam menjawab berbagai pertanyaan tersebut, Bakker menyusun struktur realitas bahwa terdapat empat tingkatan: 1. fisik-khemis (anorganik); 2. biotis (tumbuh); 3. psikis (mental); 4. humanis (kemanusiaan). Semakin besar angka maka semakin tinggi tingkatannya. Tingkat bawah mendasari tingkat di atasnya, sementara tingkat atas mempribadikan, merefleksikan tingkat di bawahnya. Tingkatan humanis memang hanya dapat diobservasi dari manusia seperti: ekonomi, politik, sosial, budaya, dan religius. Sisi religius sendiri ditafsirkan sebagai kemampuan dalam menangkap tanda-tanda dari yang transenden.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa realitas itu sangatlah kompleks, namun dapat dimengerti. Dapat dimengerti bahwa realitas itu sendiri bersifat bipolar: statis – dinamis; jasmani – rohani maupun; otonom – koordinasi.


Sumber: materi perkuliahan dari Prof. Joko Siswanto, di kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib