Descartes merupakan salah satu pendiri pemikiran modern, yang kurang lebih berdasarkan karya Aristoteles namun tetap terbuka pada kebutuhan zaman. Ia mengarang tentang ilmu pasti, metodologi, dan filsafat. Ia meninggal karena sakit paru-paru saat ia berada di Swedia, sedang mengajar ratu Christina.
Filsafatnya
Ia menyadari bahwa filsafat Aristoteles memiliki jurang dengan orientasi ilmiah pada saat itu. Itulah mengapa ia meninggalkan filsafat itu dan condong pada ilmu eksakta. Baginya, metafisika dan ilmu alam adalah satu kesatuan. Hal tersebut dikarenakan metafisika adalah dasar prinsipiil bagi ilmu pengetahuan.
Metodenya
a. Konsepsi Pertama
Pada saat itu, sedang gencar-gencarnya pencarian metode yang tepat untuk ilmu. Sementara itu, ia mulai meragukan metode Aristoteles karena tidak memunculkan pengetahuan baru. Studinya mengenai ilmu eksakta membuatnya condong pada ilmu geometris analitis.
Ia memiliki cita-cita dan pandangan mengenai mathesis universalis, yang mampu menjelaskan seluruh dunia secara rasional; hanya menggunakan satu metode. Metode tersebut memiliki evidensi yang sangat besar dan meyakinkan. Ia terinspirasi dari metode ilmu pasti pada saat itu.
b. Uraian Metode
Metode tersebut dijelaskan melalui tiga tahap:
ba. Ia menjelaskannya secara sederhana dalam naskah Studium bonae mentis. Naskah tersebut hilang, hanya bersisa kutipannya saja.
bb. Setelah itu, ia menulis buku Regulae ad directionem ingenii yang berisi aturan-aturan metode yang mendetail. Karena aturan tersebut terlalu banyak dan rumit, ia merasa gagal, dan meninggalkannya.
bc. Lalu ia mengarang buku Discours de la méthode. Ia menghubungkannya dengan pemikiran metafisik, meskipun belum lengkap. Di karya-karya selanjutnya, ia melengkapi, menyusunnya, dan memperkuat argumentasinya.
c. Inti Metode
Ia menyebut metodenya sebagai metode analitis. Menurutnya terdapat ketersusunan natural dalam kenyataan, ketersusunan tersebut sesuai dengan cara penemuan (via inventionis) yaitu cara menghadapi problem baru. Tidak seperti Bacon dan Galilei yang mengobservasi secara membabibuta, metode ini justru melihat polanya, ketersusunannya. Metode tersebut dapat disebut metode empirisme induktif.
Ia juga menegaskan metode lain, yaitu empirisme rasionil. Metode ini mengambil sisi positif dari logika, geometri, dan aljabar, lalu menghindari kelemahannya. Metode ini menyatukan semua ilmu pasti, yang didasarkan pada kuantitas murni yang umum.
Secara garis besar, metode ini memuat kombinasi dari dua hal:
1. Pemahaman intuitif dalam pemecahan soal;
2. Uraian analitis, yang mengembalikan pada pengetahuan yang telah diketahui, untuk mendapatkan pengertian baru.
Dengan kata lain, metode ini menggambarkan jalan pikiran secara intuitif mengenai kebenaran.
d. Kedudukan Metode
Metode Descartes merupakan metode penelitian rasional mana saja; karena akal-budi manusia selalu sama. Descartes menekankan kesatuan semua ilmu, dengan metafisika sebagai akarnya, fisika sebagai batangnya, dan ilmu-ilmu lain menjadi ranting dan dahannya.
Titik-tolak: Keragu-raguan Universal
Negatif
Descartes menolak metode logika klasik dan mencari metode baru, terutama bagi filsafat, berdasarkan alasan intrinsik. Akan tetapi, hal tersebut disertai pula beberapa penolakan metodis lain terhadap sistem edukasi yang ada pada saat itu.
a. Diskusi
Descartes menolak metode kerja sama dan diskusi, seperti yang terjadi pada sekolah-sekolah tradisi sokratik. Kesatuan semua ilmu harus dikonsepsikan dan dikerjakan hanya oleh hanya seorang diri saja, seperti seorang arsitek yang merancang seluruh gedung-gedung di sebuah kota, akan menjadi teratur dan rapi.
b. Tradisi
Descartes menolak tradisi, menurutnya tidak perlu menggunakan kebenaran yang telah disetujui sarjana-sarjana lain. Seseorang harus menemukan kebenaran sendiri; harus mencari pemahaman dan keyakinan pribadi. Descartes mengedepankan penyelidikan atas dasar-dasar konsep, karena apabila dasar suatu konsep runtuh, maka akan runtuh kepastian lain yang berakar dari dasar tersebut.
c. Sistematik
Descartes menolak sistematik yang diikuti di sekolah; yaitu ketersusunan kenyataan yang berawal dari Tuhan. Descartes meyakini ketersusunan logis, yaitu urutan yang berasal dari penemuan manusia.
Positif: Keragu-raguan Metodis
Penolakan itu menunjuk ke arah keragu-raguan prinsipiil. Descartes skeptis kepada segalanya. Ia bersikap layaknya seorang skeptikus, dan pada zaman itu pemikiran skeptik berasal dari Sextus Empiricus. Keraguan tersebut tidak lantas menjadikannya seorang skeptikus per se, ia ingin mencari titik-pangkal mutlak bagi filsafat.
Kebenaran umum dan kepastian pertama harus ditemukan dalam kepastian dan keyakinan yang bersifat personal dan subjektif. Kebenaran harus dialami tak tersangsikan, pengertian yang benar harus dapat menjamin dirinya sendiri.
Intuisi dan Evidensi
Akhirnya bagi Descartes hanya tinggal satu kepastian yang tahan dan tidak dapat disangsikan: cogito, ergo sum. Penyangkalan mengenai kebenaran itu memuat kontradiksi.
Cogito ergo sum bukan silogisme, bukan juga suatu analisis mengenai hubungan subjek dan predikat. Akan tetapi, ia merupakan kenyataan sederhana yang menyatu dengan kesangsian; menjadi evident dengan langsung. Pengertian adalah pengalaman akal yang diketahui tanpa abstraksi, tanpa urutan-urutan; maka pengertian merupakan suatu intuisi terhadap kebenaran.
Pengertian mutlak itu menyajikan kriterium definitif bagi segala pengertian yakni jelas dan tegas. Evidensi menjadi kriterium terakhir, dan itu ditemukan dalam pengertian inderawi, sebab itu penuh dengan kontradiksi. Dalam intuisi demikian ingatan dan imajinasi tidak main peranan, jadi alasan keraguan tidak ada. Dalam kegiatan itu hanya dipahami hakikat yang sederhana, maka pengertian mutlak pasti juga hanya mengenai hal yang sederhana. Pengertian cogito dan kriterium yang ditemukan di dalamnya merupakan apriori metodis, yang mendasari seluruh metode Descartes.
Membentangkan Pikiran
Sistematik
Semua bahan penelitian dan setiap persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagian, sejauh diperlukan demi pemecahan yang memadai. Hal tersebut adalah aturan kedua yang disebut Descartes aturan ‘pelarutan’. Apa yang masih menjadi pertanyaan harus dihubungkan dengan yang telah diketahui, lalu segala soal harus dikembalikan ke bagian-bagian sederhana, menurut ketersusunannya yang natural.
Filsafat adalah suatu keseluruhan pemahaman sistematis yang berdasarkan yang satu pada yang lain. Kepastian baru harus berasal dari kepastian yang tidak diragukan yang sudah ada, dan dijelaskan dalam hubungan dengan yang telah diketahui. Tahap-tahap yang berhubungan itu seperti rantai yang tak terputus, apabila satu mata rantai kurang pasti, maka seluruh pengertian selanjutnya tidak pasti lagi.
Deduksi
a. Teori
Dalam aturannya yang ketiga Descartes merumuskannya sebagai berikut : Descartes mengatur pikirannya dengan cara mengumpulkan objek-objek yang mudah dipahami lalu berangsur-angsur ke tahap yang kompleks. Jadi dari yang simpel sampai absolut, sampai pengertian kompleks dan relatif. Urut-urutan yang dibuat oleh Descartes bukan ketersusunan menurut kategori metafisika melainkan urut-urutan metodologis. Walaupun disebut analisa, sebenarnya juga semacam deduksi.
Descartes sedapat mungkin menyatukan induksi dan deduksi. Analisa itu tidak melulu diskursif, sebab intuisi pertama tidak ditinggalkan. Pengalaman- pengalaman sederhana itu dibawa ke dalam analisa, lalu intuisi-intuisi baru memperluas dan memperjelasnya menjadi intuisi kompleks. Seluruh analisa tidak lain merupakan satu deretan intuisi yang disintesakan secara suksesif, dan disatukan oleh ingatan. Dengan cara itu Descartes mempertahankan bahwa metodenya memang satu empirisme.
Descartes juga mengenal metode lebih sintetis atau formal deduktif menurut garis-garis sistem geometri. Tetapi menurut Descartes metode sintetis itu hanya memperlihatkan, bahwa pengertian tentang hal kompleks yang dipersoalkan, dapat dijabarkan dari anteseden- namun tidak memberi pengertian baru. Metode analitis ialah jalan penemuan, karena membuat orang tahu hal sama jelasnya, seperti kalau ditemukannya sendiri.
b. Penerapan
Secara konkret dapat dilihat penerapan metodenya pada dua pokok pertama, yaitu: distingsi riil antara jiwa dan badan; dan adanya Tuhan.
ba. Keraguan tentang badan yang berbeda dengan cara berpikir yang merupakan hal berpikir yang murni. Maka badan berdistingsi riil dengan hal berpikir itu. Untuk membuktikan badan apakah ada atau tidak, maka harus mengambil jalan lain dulu.
bb. Mempunyai konsepsi tentang “ada” yang sempurna dan tegas, haruslah mempunyai pikiran kalau aku sempurna. Namun walaupun aku ada, tapi aku tidak menyebabkan diriku sendiri. Jadi konsepsi itu tidak berasal dari diri sendiri; dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan ada. Tuhan dipikirkan sebagai substansi tak bersyarat agar “ada” sendiri.
bc. Tuhan menjamin objektivitas pikiranku. Jadi konsepsi tentang ekstensi dan lain-lain itu objektif; maka dunia luar itu riil, dan badan memang ada sebagai ekstensi murni. Berpikir (rohani) dan berekstensi (jasmani) adalah dua sifat pokok dan semua hal lain diarahkan kepada dua sifat itu. Mereka tidak dapat direduksi yang satu kepada yang lain. kedua sifat itu selalu berakar dalam substansi. Jadi ada dua substansi pokok, ialah pikiran dan ekstensi. Substansi berarti hal yang ada tanpa ada syarat yang membentuknya.
Induksi
a. Aturan Keempat
Descartes juga bicara mengenai induksi. Induksi diutarakan dalam aturan keempat: “dalam setiap soal melaksanakan penyebutan sedemikian lengkap dan peninjauan sedemikian universal, sehingga saya merasa pasti, bahwa tidak melupakan apa-apa”. Enumeration itu harus bersifat kontinu, tak terputus-putus, dan teratur. Walaupun disebut “induksi” namun tetap bagian metode analitis seperti yang telah ditentukan, dan pertama-tama berhubungan dengan sistematik, dan deduksi.
b. Induksi Nyata
Descartes tidak meremehkan observasi, hipotesa, dan eksperimen. Di lain pihak pengalaman adalah alat kontrol bagi gambaran dunia aprioristis: memberikan kesesuaian realitas dengan konstruksi pikiran. Descartes menganggap butuh observasi empiris, supaya dapat diketahui, namun hanya untuk melengkapi akal manusia. Descartes tetap pada keinginannya menemukan mereka dengan apriori, melalui metodenya.
c. Kesulitan dari Pengalaman
Induksi membuat Descartes memiliki kesukaran besar, pengalaman memperlihatkan kesatuan jiwa dan badan. Hubungan itu bukan sebagai nakhoda dengan kapalnya. Jiwa menggerakkan badan secara langsung; dan jiwa merasa sakit dan merasa marah di dalam badan. Descartes tidak berhasil menyesuaikan pengalaman itu dengan analisa filosofis.
Catatan: dibuat bersama Aldo Muhes dan Yudhistira Prabowo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar