Merujuk pada sejarahnya, upaya untuk mendefinisikan pekerjaan interdisipliner telah dimulai sejak tahun 1930-an, dan mencapai puncaknya pada dekade 1970-an dan 1980-an. Perdebatan mengenai definisi, makna dan metodologi mengenai interdisciplinarity ini masih berlangsung sampai saat ini.
Menurut Bolitho dan McDonnell (2010: 6), pada prinsipnya upaya interdisciplinarity melibatkan integrasi dari dua atau lebih disiplin dalam situasi di mana sumber daya pada sebuah disiplin tunggal tidak dapat mencakup ruang lingkup dari masalah yang ingin dipecahkan. Terkait hal tersebut, Davies dan Devlin (2007) mengusulkan konsep mengenai sebuah kontinum integrasi, di mana pada salah satu ujungnya menunjukkan adanya dampak yang relatif kecil dari satu disiplin, dan di ujung yang lainnya beberapa disiplin yang berbeda menggabungkan keahlian mereka untuk menjawab masalah tertentu. Jenis interaksi berpotensi mengarah pada pengembangan metodologi dan model konseptual baru untuk masing-masing sub-disiplin ilmu (Klein, 1990; Lattuca, 2001; Repko, 2008).
Sementara itu, Klein (1990) berpendapat bahwa proyek-proyek interdisipliner didefinisikan sebagai proyek yang menekankan integrasi lebih dari satu disiplin studi diskrit atau disiplin yang memiliki identitas tersendiri (Lattuca, 2001: 11). Akibatnya komunikasi dan koordinasi antara disiplin ilmu lebih banyak terjadi pada studi interdisipliner dibandingkan pada multidisipliner. Namun kemudian berkembang definisi yang lebih baru yang membedakan antara dua bentuk interdisciplinarity,yaitu:
(a) Interdisipliner instrumental (instrumental interdisciplinarity);
(b) Interdisipliner konseptual (conceptual interdisciplinarity).
(a) Interdisipliner instrumental (instrumental interdisciplinarity);
(b) Interdisipliner konseptual (conceptual interdisciplinarity).
Lattuca mengutip Salter dan Hearn (1996: 9) yang mendefinisikan interdisipliner instrumental berperan sebagai pendekatan pragmatis yang berfokus pada kegiatan pemecahan masalah dan tidak mencari sintesis atau perpaduan dari perspektif yang berbeda. Sementara interdisipliner konseptual menekankan sintesis pengetahuan, yang cenderung bersifat "teoritis, epistemologis utama yang melibatkan koherensi internal, pengembangan kategori konseptual baru, penyatuan metodologi, dan penelitian dan eksplorasi jangka panjang.". Dari deskripsi tersebut penulis akan membahas semangat menuntut ilmu berbasis interdisipliner dari berbagai kelas sosial secara komplek. Mari kita simak pembahasan berikut ini.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Sedangkan Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (atau stratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Biasanya kebanyakan masyarakat memiliki golongan sosial, namun tidak semua masyarakat memiliki jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. (Wikipedia). Menuntut ilmu dari berbagai kelas sosial berarti mau bergaul dengan berbagai macam lapisan masyarakat demi mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas dengan cara berdialektika, berdiskusi, dan bermusyawarah dengan berbagai macam jenis ilmu pengetahuan untuk mecahkan persoalan-persoalan yang sederhana maupun yang kompleks di masyarakat.
Dari pengertian tersebut penulis ingin mengajak pembaca sekalian untuk mau belajar dari berbagai macam kelas sosial mulai dari buruh, petani, siswa, pejabat, ulama, bahkan kepada pengemispun kita bisa belajar seusatu darinya. Makna ilmu bukan hanya sekedar mendapatkan pendidikan di sekolah formal atau di universitas-universitas, ilmu lebih luas dari itu. Dengan berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai kelas sosial kita dapat mengetahui pola pikir masyarakat, mulai dari pemikiran seorang petani hingga pemikiran para elit politik. Penulis yang selaku mahasiswa juga ingin mengkritik pola belajar sebagian mahasiswa yang hanya mau bergaul dengan teman satu fakultasnya saja, padahal dengan kita bergaul dengan mahasiswa lintas fakultas maupun jurusan kita dapat mengimprove pemahaman kita tentang ilmu. Dengan ilmu yang luas kita dapat memperoleh pandangan yang komprehensif dalam memecahkan problem-problem yang kecil hingga masalah-masalah internasional.
Jika boleh berandai-andai penulis menginginkan suatu sistem pendidikan yang membabaskan para siswa atau mahasiswanya bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat, mengaplikasikan hakikat ilmu secara nyata dan dapat langsung dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga para mahasiswa atau siswa tidak hanya menjadi ensiklopedia berjalan. Mahasiwa ataupun siswa harus mampu bersinergi dengan banyak multidisiplin keilmuan, dan tidak hanya pandai dalam satu bidang keilmuan saja. Jika sitem tersebut diterapkan saya optimis Indonesia akan menjadi negara yang besar baik dalam segi ekonomi, politik, sosial, sampai pada segi etika.
Penulis beranggapan negara kita ini adalah negara yang menguasai bermacam-macam dispilin ilmu dan kompeten dalam bidangnya masing-masing, oleh karena itu penting sekali bagi kita untuk senantiasa bergaul dengan berbagai macam manusia baik yang berbeda agama, suku, budaya, dan latar belakang pendidikan agar bangsa kita ini mampu bersaing di kancah internasional dan mampu menjadi bangsa yang disegani dunia. Perlu diingatkan sekali lagi bahwa negara kita adalah negara yang besar, mindset tersebut harus kita tanamkan pada diri kita masing-masing, kepada generasi muda nanti, dan kepada generasi-generasi berikutnya bangsa ini. Hal tersebut penting karena jika kita memupuk rasa nasionalisme pada setiap lapisan masyarakat maka tidak akan ada lagi batasan-batasan dalam bergaul, dan setiap masyarakat bangsa Indonesia bangga menjadi bagian dari Indonesia, serta tidak lagi minder ataupun malu menjadi orang Indonesia.
Masalah yang kerap muncul dalam kehidupan di masyarakat Indonesia adalah kurangnya koordinasi dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bisa dibilang hal tersebut terjadi karena kurangnya kerjasama antar bidang-bidang ilmu dalam memecahkan kebijakan apa yang akan diterapkan. Pemerintah terlalu terpaku kepada kebiasaan lama dalam memecahkan masalah seperti hanya memanggil pakar darisatu bidang saja padahal jika pemerintah mau mengakomodir setiap pakar dalam bidang keilmuan yang kompleks bukan tidak mungkin kebijakan publik yang dibuat akan memakmurkan masyarakat Indonesia itu sendiri, tidak juga merugikan lingkungan alam, dan tidak ada konflik sosial yang terjadi akibat penerapan kebijakan tersebut.
Pada kesimpulannya adalah penting bagi bangsa kita saat ini untuk menyingkirkan sifat individualis dan kembali pada jati diri bangsa kita yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam menuntut ilmu. Dalam miningkatkan semangat persatuan membangun negeri, penting kiranya bagi kita untuk bersatu padu dalam sebuah keharmonisan masyarakat dari berbagai kelas sosial untuk saling melengkapi satu sama lain, baik dibidang ekonomi,sosial,politik, dan lain sebagainya. Menyatukan segala jenis disiplin ilmu memang tidak mudah tetapi tidak ada salahnya memulai sesuatu dari pada tidak memulainya sama sekali, kesulitan dan hambatan memang selalu ada dalam proses menuju perubahan kearah yang lebih baik. Selaku mahasiswa seharusnya kita sudah dapat menerapkan sistem ini didalam masyarakat agar semangat membangun negeri tetap ada dan akan terus ada sampai anak cucu kita kelak. Sudahkah kita mengaplikasikan interdispliner ilmu dalam kehidupan sehari-hari?.
Oleh: Muhammad Nur Alam Tejo
Oleh: Muhammad Nur Alam Tejo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar