Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]

Jokowi


“Itu bukan tata nilai islami, bukan tata nilai bangsa Indonesia, ini akan merusak karakter, identitas, jati diri kita sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.”—Joko Widodo, 2016 

Memang sangat disayangkan, media sosial yang diharapkan akan menjadi suatu penghubung dan mempererat tali persaudaraan, justru media sosial kini menjadi hal yang sangat buruk di kenyataan.

Maksud buruk di sini adalah media sosial bukan lagi mempererat, malah semakin menjauhkan satu sama lain, bahkan mengadu domba, hingga menyerukan kalimat untuk saling bunuh-membunuh.

Akan tetapi, seburuk itukah media sosial? Mari ditelaah lebih lanjut.

Berbicara mengenai baik-buruk adalah berbicara tentang etika.

Berbicara tentang etika, maka berbicara tentang nilai.

Berbicara tentang nilai, maka berbicara tentang situasi.

Dengan demikian, untuk memahami baik-buruknya suatu hal, maka harus memahami bagaimana kondisi atau situasi yang terjadi terlebih dahulu.

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, fenomena yang terjadi di Indonesia adalah masifnya konten media sosial yang dianggap memecah belah persatuan.

Mengapa konten seperti itu bisa masif? Hal itu dikarenakan media sosial mengadopsi sistem Tren. Semakin banyak yang like dan share, maka jelas semakin masif dan banyak dibicarakan oleh netizen-netizen.

Hal yang menarik adalah bahwa netizen Indonesia justru banyak yang tertarik dengan isu-isu seperti itu—konten pemecah belah persatuan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hebohnya berita @awkarin pada saat yang lalu—padahal hanya drama tidak jelas, kisah hidup tidak penting, dsb. bisa-bisanya menjadi terkenal. Saya mohon, tobatlah kalian para netizen alay. Tolong berhenti membuat orang tidak jelas menjadi terkenal.

Entah mengapa, mungkin hal ini dapat dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang masih dalam tahapan menuju keadaan bonus demografi.

Bonus demografi ini menyatakan bahwa Indonesia sebentar lagi akan didominasi oleh SDM yang merupakan usia produktif—entah berkualitas ataupun tidak. Tentu sebelum usia produktif, manusia akan mengalami masa remaja—atau masa ALAY.

Ini berarti bahwa Indonesia sekarang didominasi oleh SDM yang masih dalam tahapan usia remaja (baca: USIA ALAY!).

Ya wajarlah kalau begitu. Wajar karena usia remaja merupakan usia yang keadaan psikologisnya masih fluktuatif—tidak stabil.

Bagaimana bisa dikatakan stabil? Jarang sekali pikiran remaja itu jernih, selalu dibumbui dengan ambisi, perasaan, serta hal-hal tendensius lainnya—wah, hal ini bisa berarti bahwa pemimpin kita di DPR itu juga masih di tahapan usia alay, eh usia remaja, eh belum dewasa.

Selain itu, pikiran rakyat Indonesia yang belum dewasa ini dihantam keras oleh kondisi internet dan media sosial pula. Internet itu kebebasan mutlak mamen!

Di internet, anda bisa menjadi siapa saja, bisa berbicara apa saja, internet dan media sosial itu dapat disandingkan dengan surga, surganya orang liberalis.

Akan tetapi, coba bayangkan seorang remaja yang alay dibebaskan sebebas-bebasnya tanpa ada batasan. Yang ada ya anak tersebut rusak tidak karuan.

Di sisi lain, ketika dibatasi, justru anak remaja itu akan memberontak dan menyerang balik, sama saja rusak. Hal ini dapat dianalogikan seperti pasir: digenggam keras akan keluar, tidak digenggam akan memancar ke mana-mana.

Apa hikmah yang dapat kita ambil? Hikmahnya adalah sebuah pengawasan.

Bukan aturan ketat, bukan kebebasan mutlak, tetapi pengawasan yang mencerahkan.

Kita ambil contoh pornografi dan pornoaksi. Pornografi dan pornoaksi tetap saja menjadi hal yang sangat sulit untuk diberantas. Mengapa sulit? Kesalahan terletak pada pemerintah sendiri.

Sekali lagi, internet itu kebebasan mutlak! Percuma saja memblokir situs porno, ada banyak jalan menuju Roma bos!

Ada banyak cara mengakses situs yang diblokir. Tinggal cari di Google, selesai deh. Justru aneh ketika ingin memblokir semua situs porno, terlihat bahwa pemerintah sendiri tidak dewasa dalam menanggapinya.

Padahal, dengan logika sebelumnya, cukuplah pemerintah mendewasakan pengguna internet.

Pendidikan seks di Indonesia nyatanya gagal, ditambah lagi dengan metode pemblokiran yang aneh.  Seharusnya pemerintah cukup fokus pada pendidikan yang mendewasakan bukan? Berikan pengguna internet dan media sosial pengetahuan yang mendewasakan, saya kira cukup dapat diberantas hal-hal yang buruk-buruk itu.

Indonesia untuk mendewasakan rakyatnya, harus berkaca pada kearifan lokal budayanya. Contohnya Bali kuno. Bali kuno wanitanya tidak memakai pakaian dan dadanya dibiarkan menggantung bebas terlihat jelas. Tapi masyarakat mereka biasa saja, tidak ada yang aneh, justru saling menghormati—padahal lihat dada istri tetangga lho, kalau di era seperti ini ya tidak saling menghormati, malah pemerkosaan dan perselingkuhan yang banyak terjadi. Belajarlah dari masyarakat Bali kuno yang telah dewasa dan mampu mendewasakan masyarakatnya.

Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa percuma saja mengeluh dan berteriak-teriak mengenai nilai keislaman, kalau yang mendengarkan itu tidak dewasa pikirannya.

Pikiran yang tidak dewasa adalah pikiran yang tidak merdeka, tidak stabil.

Dengan demikian, pemerintah harus mendewasakan pengguna internet dan media sosial, mendewasakan rakyatnya.

Cara mendewasakannya dengan pengawasan yang mencerahkan, memberikan pengetahuan, dan meluruskan pandangan yang keliru—bukannya malah melarang dengan ketat ataupun  membebaskan sebebas-bebasnya.

Untuk terakhir kali, Internet itu kebebasan mutlak, coy! Begitu pula dengan media sosial. Kalau enggak dewasa, ya ke laut saja!

Sepertinya pemerintah kurang dewasa nih dalam menangani kasus ini, makanya ke laut dong, camping. Berkontemplasi, menyegarkan pikiran, biar berpikir lebih dewasa lagi, biar menanggapi lebih dewasa lagi.

Ah, jadi ingin camping ke pantai rasanya.

Kata kunci: Jokowi, Media Sosial, Buruk, Internet, Indonesia
Keterangan foto: Joko "Jokowi" Widodo, Presiden Indonesia ke-7
Sumber foto: m.tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib