Nilai-nilai yang substansial dalam Pancasila tidak berhenti pada tataran nilai saja. Nilai tersebut nantinya akan diaktualisasikan dalam tataran kenyataan. Aktualisasi dan pengembangan Pancasila tersebut dapat dibagi menjadi dua hal: aktualisasi subjektif dan aktualisasi objektif (Soeprapto, 2014: 113).
Aktualisasi Subjektif
Aktualisasi subjektif merupakan aktualisasi yang berlangsung pada tataran personal. Nilai-nilai substansial dari Pancasila tersebut nantinya akan berpengaruh dan berkembang pada diri personal menjadi suatu kepribadian diri. Keberpengaruhan nilai-nilai substansial tersebut terjadi karena Pancasila merupakan kepribadian bangsa.
Nilai-nilai substansial Pancasila tidak hanya berhenti pada pengetahuan dan pemahaman saja, namun harus direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari (Soeprapto, 2014: 114). Sikap religius pada sila pertama, menghormati hak asasi manusia pada sila kedua, semangat persatuan pada sila ketiga, perilaku demokratis pada sila keempat, dan sikap adil dalam kebersamaan pada sila kelima tentu harus diimplementasikan dan dijiwai dalam perilaku keseharian (Soeprapto, 2014: 114–15).
Implementasi Pancasila dalam sikap-sikap keseharian masyarakat Indonesia akan merefleksikan kepribadian bangsa sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Kepribadian ini didasarkan pada tiga tingkatan hakikat pribadi: hakikat pribadi kemanusiaan, hakikat pribadi kebangsaan, dan hakikat pribadi perseorangan. Tentunya, kepribadian ini akan membedakan manusia Indonesia dengan manusia yang lainnya.
Problem yang muncul adalah bahwa di era kontemporer ini teknologi berkembang sangat cepat sehingga terdapat berbagai gesekan kepribadian yang akan mengubah kepribadian manusia Indonesia. Dengan menyadari bahwa kepribadian yang rasional dan individualis menjadi hal yang mendominasi dalam era kontemporer ini. Meskipun demikian, kepribadian bangsa yang merupakan semangat kebersamaan dan kekeluargaan harus tetap menjadi landasannya. Dengan demikian, mengadopsi rasionalitas namun tetap menjunjung tinggi kebersamaan dan kekeluargaan merupakan solusi dari adanya perkembangan zaman ini.
Dalam menghadapi perkembangan zaman—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disebut sebagai metode eklektis (Soeprapto, 2014: 118). Metode eklektis adalah metode mengadopsi kepribadian dengan tetap mempertahankan landasan kepribadian bangsa. Dengan demikian, manusia Indonesia tetap mengikuti perkembangan dan persyaratan zaman tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Metode eklektis tersebut tentu sangat berguna dalam mempersiapkan penerus bangsa yang adaptif. Nilai-nilai baru tersebut ditransformasikan dalam kepribadian bangsa sebagai syarat zaman, namun ciri khasnya tetap ada. Warisan nilai Pancasila kepada generasi muda menjadi kunci perkembangan suatu bangsa agar ciri khas dan nilai-nilainya tetap bertahan dalam perkembangan zaman.
Aktualisasi Objektif
Aktualisasi objektif nilai-nilai substantif Pancasila dapat dibagi menjadi dua: melalui penyelenggaraan negara dan melalui perundang-undangan. Dalam konteks penyelenggaraan negara berarti Pancasila direfleksikan dalam sikap-sikap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, dalam konteks perundang-undangan, Pancasila direfleksikan dalam penegakan hukum atau menjadi landasan hukum di Indonesia.
Dalam penyelenggaraan negara, maka Pancasila diartikan secara umum kolektif. Arti Pancasila secara umum kolektif tentu akan menyesuaikan diri dengan latar belakang manusia yang memandangnya—seperti agama, ras, maupun golongan. Akan tetapi, pandangan yang umum kolektif tersebut dibatasi oleh pengertian yang abstrak, umum, universal dari Pancasila. Dengan kata lain, pengertian Pancasila yang abstrak, umum, universal akan menjadi titik temu dari seluruh pandangan umum kolektif.
Hal yang terpenting dalam penyelenggaraan negara adalah unsur persatuan. Negara harus tetap memelihara unsur persatuan agar negara dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tentu hal ini dijalankan dengan tidak memelihara maupun membesar-besarkan perbedaan-perbedaan yang ada, yang dapat memecah persatuan bangsa.
Agar persatuan tetap terpelihara, maka negara harus kembali pada hukumnya, terutama pada penegakan hukum positif. Hukum positif tersebut harus menaati acuannya: Tuhan, kodrat, dan susila. Hal ini bukan berarti bahwa Indonesia tidak akan mengikuti perkembangan zaman. Justru telah dijelaskan perihal adaptasi zaman dengan tetap mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan makna dan ciri khasnya. Akan tetapi, nilai Pancasila dalam tataran ideologis (penyelenggaraan negara) harus memiliki tiga dimensi: realitas yaitu bersumber dari kehidupan nyata di masyarakat, idealitas yaitu mengandung cita-cita yang dicapai, dan fleksibilitas yaitu memelihara makna dan relevansi sehingga tidak kehilangan hakikatnya.
Dalam konteks perundang-undangan, didasarkan pada tertib hukum dan Pembukaan UUD 1945 sebagai pokok kaidah fundamental negara. Tertib hukum di sini yaitu tidak terbatas pada penyelenggaraan hukum positif, namun juga hukum Tuhan, hukum kodrat, dan hukum susila. Aktualisasi Pancasila dalam perundang-undangan, selanjutnya akan didasarkan pada pokok kaidah fundamental negara Indonesia yaitu Pembukaan UUD 1945. Yang mana kemudian, norma fundamental tersebut akan menjadi acuan utama dalam perkembangan perundang-undangan negara dengan dijalankan secara tertib hukum.
Sumber:
Soeprapto, S. 2014. Konsep Inventif Etika Pancasila Berdasarkan Filsafat Pancasila Notonagoro. Diedit oleh Hartono. Yogyakarta: UNY Press.
Sumber foto: www.pusakaindonesia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar