Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]

Jogja, melihat dinamika purtumbuhanmu baik dari segi fisik maupun sosial membuat gelisah dan resah. Bagaimana tidak resah, kotamu ini begitu seksi yang membuat siapun orang yang datang akan terpikat oleh pesonamu yang dibungkus kesederhanaan dan suasana kota yang berbudaya luhur dengan sopan santun masyarakatnya. Bisa dibayangkan kota yang dijuluki “istimewa”  ini mempunyai sejarah panjang kenapa kota ini bisa disebut “istimewa”, selain faktor historis, Jogja disebut “istimewa” karena kesederhanaan masyarakatnya yang sudah melekat pada aktivitas sosialnya. Satu lagi pesona yang dimiliki Jogja adalah kota ini yang (katanya) dijuluki sebagai “Kota Pelajar” menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar dari seantero nusantara.

Seiring berjalannya waktu, kota sederhanamu ini tumbuh menjadi kota metropolitan, kemajuan di bidang ekonomi di dalam masyarakat kota selalu di identikkan dengan perubahan dalam pola konsumsi dan gaya hidup yang sangat berlebihan dan bermewah-mewahanan. Kapitalisme yang merupakan sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian sehingga mengusik kesederhanaan Jogja. Terlihat kini  bahwa kotamu sudah banyak berubah. Angkringan sederhana dari tiker-tiker lusuh di pinggiran jalan saat ini mulai naik kelas menjadi cafe-cafe bersofa empuk nan mahal. Sepedah ontel dulu kala itu kini bermetamorfosis menjadi kuda besi bernafas polutan yang mencemari kota asri ini dengan nafas-nafas beracunnya. Rumah-rumah Joglo khas Jogja kini mulai mencoba membiasakan diri bersahabat dengan hotel dan apartement mewah berbintang lima. Jogja bolehkah Aku bertanya padamu? Masihkah kamu mempunyai nilai-nilai kesederhanaan?

Perkembangan kota di dunia bahwa kapitalisme menjadi sosok seksi bagi kota untuk berkembang dengan pesat. Modal besar dan investor asing berperan penting mudahkan kesempatan untuk membuka pasar baru yang otomatis mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tempat baru itu. Di kota besar kemajuan ekonomi perkotaan selalu di dukung dengan pusat-pusat perbelanjaan,mall, hotel, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Yogyakarta yang awalnya kota budaya menjadi sasaran yang sangat empuk bagi pemilik modal untuk menanamkan modalnya di Yogyakarta. Werner Sombart dan diperkuat Wallerstein, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang dikuasai dan diwarnai peranan modal, yang di dalam pandangan ekonominya didominasi oleh tiga gagasan, yaitu: usaha untuk memperoleh dan memiliki, persaingan, dan rasionalitas (nilai efisiensi kerja). Dalam sistem ini akumulasi modal (keuntungan) yang tanpa akhir telah menjadi tujuan dan menguasai hukum ekonomi.  Sistem ini mensyaratkan faktor individualisme yang menuntut kebebasan yang leluasa menempatkan negara hanya sebagai “penjaga malam” saja (dilarang ikut campur) (Azhar, 1996; Rahardjo, 1991). Mengingat individualisme begitu berperan dalam sistem ekonomi ini, maka pada praktiknya menimbulkan eksploitasi masyarakat oleh sebagian orang saja. Sehingga faktor sosial dikesampingkan. Masyarakat menjadi tercabut dari akar sosialnya.

Pemerintah daerah seolah lupa pada masyarakat Yogyakarta, mereka tergiur oleh uang yang besar dari para kapital-kapital yang ingin menanamkan modalnya. Dengan alasan mengurangi jumlah kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan baru dari pembangunan ekonomi di Yogyakarta, masyarakat miskin menjadi semakin miskin, kota menjadi lahan kapitalisme pemilik modal, dan rumah-rumah warga tergusur untuk membangun hotel dan pusat perbelanjaan, sehingga kehidupan warga semakin susah sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja dengan para kapitalis dengan upah yang sangat rendah jauh dari UMR yang ada.

Menurut Karl Marx, hal mendasar yang harus dilakukan manusia agar dapat terus hidup adalah mendapatkan sarana untuk tetap bertahan hidup. Apapun yang bisa menghasilkan pangan, sandang, dan papan bagi mereka, serta untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tidak ada yang bisa menghindar dari hal-hal itu. Namun, ketika cara-cara produksi berkembang dari tahap tradisional, segera muncul kebutuhan agar tiap individu dapat melakukan spesialisasi, karena mereka beranggapan akan lebih makmur dengan cara itu. Lalu, orang menjadi bergantung satu dengan yang lain. Produksi sarana hidup kini menjadi aktivitas sosial, bukan lagi aktivitas individu. Dalam saling ketergantungan ini (masyarakat), setiap orang ditentukan hubungannya dengan sarana produksi. "Apa yang kulakukan seorang diri untuk penghidupanku menentukan sebagian besar hal pokok dalam cara hidupku, dan sekaligus merupakan kontribusiku terhadap masyarakat secara keseluruhan”. “Hubungan ini juga menentukan siapa saja yang punya kepentingan sama denganku dalam pembagian produk sosial itu dan siapa saja yang bertentangan dengan kepentinganku” ujar Marx. Dengan cara pandang seperti itu, terbentuklah kelas-kelas sosial ekonomi, yang juga mengakibatkan timbulnya konflik di antara kelas-kelas itu.

Ironi dimulai disini ketika masyarakat tak mempunyai kesadaran untuk merubah hidup mereka karena mereka hanyalah kaum proletar yang tak punya kekuasaan apa-apa apalagi ditambah orang proletar itu belum ada kesamaan presepsi, mereka juga menggantungkan harapan sebagai buruh di perusahaan orang kapitalis yang kita lihat sekarang. Memang benar yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa sejarah manusia hanyalah konflik dengan sesama manusia sendiri, dan konflik untuk memeprebutkan kelas-kelas sosial serta perebutan kepemilikan modal di dalam suatu masyarakat.

Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa Jogja yang dahulu berbeda dengan Jogja yang sekarang. Dimana saat ini terjadi tarik menarik kepentingan antara si pemain (masyarakat Jogja), si dalang (investor) dan si wasit yang berat sebelah (pemerintah). Masyarakat Jogja dihadapkan pada sebuah dilema dimana disatu sisi mereka harus mengikhlaskan kota sederhana dan asrinya rusak dan berubah atau menentang pembangunan yang massive ini dengan resiko mereka tetap menjadi kota yang notabene “miskin” dalam bidang ekonomi atau membiarkan para kapitalis merauk rupiah demi rupiah di kota Jogja ini. Mengutip perkataan Voltaire bahwa manusia tidak selamanya adalah serigala, tetapi telah menjadi serigala. Akankah Jogja membiarkan para serigala ini berkuasa di daerahnya? atau kesederhanaan tetap mengakar dalam denyut nadi Jogja?. Kini semuanya terserah pada ke-sophien-an Jogja itu sendiri, dan biarkanlah masyarakatnya sendiri yang menentukan sikapnya.

Oleh: Muhammad Nur Alam Tejo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib