Catatan Filsafat

WEBSITE BERISI CATATAN DAN ANALISIS TENTANG FILSAFAT, ILMU, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA, AGAMA, NILAI, DAN ETIKA
BY MUHAMMAD QATRUNNADA AHNAF
A.K.A. MQAHNAF

Full width home advertisement

Esai

Puisi

Post Page Advertisement [Top]

Keterkejutan yang masif  pada diri saya ketika masuk ke kampus tercinta ini (baca: filsafat). Sebab, bayang-bayang sosok kampus ideal yang ada dalam pikiran saya saat masih jadi pengangguran pasca ujian nasional. Bayangan awal yang ada di dalam pikiran saya tentang kampus filsafat dengan embel-embel Universitas Gadjah Mada di belakangnya adalah kampus yang asri, bersih, mahasiswanya rapi, tutur katanya mencerminkan jiwa intelektual yang matang. Ada lagi yang menjadi kegelisahan saya saat pertama kali masuk kampus ini. Mahasiswa dan mahasiswinya ternyata secara terang-terangan merokok di lingkungan kampus, tidak tanggung-tanggung mereka bahkan merokok di depan ruang kuliah!. Sungguh saya amat terkejut.

Seiring berjalannya waktu, saya juga hanyut akan nikmat yang ada di dalam rokok. Merokok sepertinya sudah menjadi rukun dalam hidup saya. Sehabis makan merokok, ngobrol dengan teman-teman yaa merokok lagi, bahkan menulis paper ini saya juga merokok. Aneh, dulu padahal saya hakkul yakin bahwa rokok merupakan musuh utama bagi diri saya sendiri. Saya memandang hina orang-orang yang merokok!. Dulu saya menilai orang yang merokok tidak peduli pada dirinya sendiri, buang-buang uang saja cuma makan asap, apa enaknya coba. Halah ternyata lucu juga yang saya alami dulu. Seolah-olah setelah saya meludahi mangkok mie ayam tetapi tetap saya makan juga itu mie ayam sampai habis kuah-kuahnya!.

Belajar dari pengalaman ternyata saya salah paham terhadap para perokok, dan akhirnya saya mencoba mencari pembenaran perilaku saya yang gemar merokok. Anda mau sependapat atau tidak tak menjadi urusan, wong saya juga nulisnya ngawur kok. Silahkan disimak alasan-alasan ngawur saya mulai dari tokoh-tokoh besar yang ternyata juga merokok sampai ketum’aninahan para perokok. Sebentar saya menyusun argumen ngawur dulu. Oh iya sudah.

Pertama Presiden Sukarno itu perokok. Merek rokoknya State Express “555”. Si Bung biasanya merokok sehabis makan. Kalau pagi, si Bung yang lahir di Surabaya (versi bisikan Bapak Rinakit, Blitar) itu suka minum kopi tubruk dengan takaran: satu cangkir diisi sesendok kopi dan satu setengah sendok gula. (Maafkan Bung Besar ya, Mas Pepeng “Klinik Kopi”). Sukarno tahu betul komposisi jumlah rokoknya dalam kaleng. Sekaleng jumlahnya 50 batang. Sebagai perokok kelas ringan (wajib dua batang sehari sehabis makan), Sukarno suatu hari masygul dan tak habis pikir. Bagaimana mungkin persediaannya 50 batang bisa habis dalam satu hari saja. Mangil orang pertama yang diinterogasinya. Diketahuilah, teman-temannya sesama pengawal si Bung yang menyikatnya. Maka dari itu, tugas si Kumendan bukan hanya mengurusi pakaian dan tongkat si Bung, tapi juga persediaan rokoknya jika sewaktu-waktu dibutuhkan.Kepada si Kumendan, Sukarno memberi nasehat: “Mangil, kamu itu selalu dekat Bapak. Ibaratnya kamu harus selalu pegang baju Bapak sebelah belakang. Mangkanya kamu sebaiknya selalu membawa sakarin dan korekapi. Sungguhpun yang minta api itu bukan saya, tapi orang lain yang mau merokok, kamu dapat pahala.” (Mojok.co: Sukarno Si Perokok yang Baik)

Luarbiasakan pak Sukarno itu!. Beliau paham betul tentang berapa jumlah rokoknya dan menasihati sang komandan pengawalnya agar berbaik hati pada orang yang meminta rokok supaya mendapat pahala. Ah luarbiasa. Bung Karno mungkin terilhami dari cerita orangtuanya dulu, beliau (mungkin) pernah mendengar cerita si pelacur yang masuk surga dikarenakan memberi minuman pada seekor anjing yang kehausan. Ada lagi pemikir-pemikir besar lainnya yang juga merokok contohnya: Sartre, Derrida, Che Guevara, Cak Nun, Sudjiwo Tejo, dan imam besar Cogito mas Danang TP. Intelektual hebat dari berbagai zaman. Sekali lagi luarbiasa memang efek rokok bagi kebebasan pikiran.

Kedua, pengalaman di Bandara yang punya kesan dari ujung ke ujung, lorong ke lorong: dingin, kaku, mewah, bergegas. Tanpa emosi. Namun ada satu oase yang membuat semua pudar, mencair, rileks; jika kita masuk ruang smoking area. Wajah-wajah kembali ekspresif. Wajah manusia. Di sana orang bertegur sapa, berkomunikasi, meminjam korek, bertanya hendak ke mana, kalau sudah mulai akrab berkisah tentang bisnis mereka, mengomentari tayangan-tayangan di layar televisi, berseloroh, kadang ada perdebatan kecil. Di ruangan yang sering diplesetkan sebagai ‘burning area’ karena tempatnya yang sengaja dibuat sangat kecil sehingga penuh asap, mereka tampil dengan melepaskan semua atribut. Tidak peduli direktur atau karyawan, selebritas atau wartawan, intelektual atau budayawan, semua membaur dalam harmoni kosmos yang manusiawi.

Seperti yang bisa kita saksikan di dua tempat yang berbeda di sebuah bandara. Lihatlah ruang lapang non-smoking area: orang-orang yang diam, menekuk kepala, sibuk dengan gajet pintar, tidak pernah melirik teman sebangku, apalagi berbincang, semua orang sibuk senyam-senyum sendiri. Lebih mirip orang gila. Lalu alihkan pandangan Anda ke smoking area: mereka saling berinteraksi, dari mulai pinjam korek api sampai berbincang tentang bisnis dan tayangan televisi, ngobrol ngalur ngidul sambil merem melek dengan ududnya. Di smoking area, mereka kembali menjadi manusia. Walah-walah terkejut saya melihat realitas.

Ketiga, di Australia, dimana para perokok dihargai, dimanusiakan, eksistensinya sebagai warga negara diakui. Batasan-batasan tempat merokok sih memang tegas. Tapi di tiap batas tersebut (yang biasanya ditandai dengan tulisan No Smoking Beyond This Line) disediakan asbak-asbak permanen. Amat berbeda dengan di negeri kita. Di Indonesia, sangat sedikit area merokok disediakan secara layak. Padahal semestinya perokok mendapatkan fasilitas ruang-ruang merokok, sehingga “wilayah geo-politis” antara kaum perokok dan non-perokok dapat disekat, sekaligus dikelola dengan damai.
“Enak aja! Udah ngotorin udara, bikin pengap, nyebarin penyakit, ee masih minta duit pajak buat bikin smoking area! Pake noh duit nenek looo..!” ungkapan wajar dari manusia anti asap.Saya pernah didamprat semacam itu waktu menjalankan “dialog kebangsaan perokok vs nonperokok” di Twitter. Itu pandangan wajar. Memang tak banyak orang mengerti bahwa perokok adalah warga negara yang paling baik hati di Indonesia. Mengapa demikian? Sejak 2012, angka per tahun pendapatan negara dari cukai rokok ada di kisaran 100 triliun. Ya, Anda tak salah baca: seratus triliun rupiah! Jadi, siapa yang butuh duit pajak buat bikin smoking area? Cukup dengan nol koma sekian persen dari duit cukai, alias duit para perokok sendiri, ribuan smoking area sudah dapat dibikin. (Mojok.co: Sesat Pikir Hitungan Cukai Rokok vs Biaya Kesehatan Masyarakat)

Bisa Anda bayangkan betapa baik hati dan tegarnya jiwa-jiwa para perokok itu. Mereka sudah mengeluarkan banyak uang untuk cukai rokok, harus merokok di ruangan yang tidak manusiawi, dan mendapat makian pedas dari sesama manusia yang berbeda presepsi tentang rokok. Sungguh calon-calon pasangan yang ideal. Oke itu cuma guyon tapi klo Anda mengamini yaa tetap Alhamdulillah.
Terakhir, ingat dialog lama yang terjadi antara Syekh Abu Hayyun dan seorang mbak-mbak cantik aktivis antitembakau. “Iya, rokok memang berbahaya. Saya setuju sekali sama sampeyan, Mbak,” kata Syekh Abu Hayyun mantap. Wajah aktivis LSM antitembakau yang bertamu siang itu pun langsung berbinar. “Begini,” lanjut Syekh. “Merokok itu nggak bisa dilakukan sambil terburu-buru. Anda bisa makan, minum, mandi, bepergian, bahkan bekerja, dengan cepat dan tergesa. Tapi tidak untuk merokok. Merokok mesti dilakukan seperti.. mm.. gerakan-gerakan salat. Harus tuma’ninah istilahnya, Mbak. Sedot, tenang, pengendapan sesaat, baru nyebul. Isep lagi, tenang dan pengendapan lagi, sebul lagi. Begitu terus-menerus. Lihat, ngudud sama sekali bukan aktivitas yang cocok untuk orang yang gegabah dan grusa-grusu…”. 

“Lho, maaf, katanya bahaya, Syekh? Kok malah nggak bahas bahayanya?” Si aktivis tampak nggak sabar.

“Sebentar..,” sambil tersenyum bijak Syekh memberi kode tangan, agar si aktipis diam dulu. “Untuk menghabiskan satu batang rokok, rata-rata dibutuhkan 20-25 kali hisapan. Kalau seorang perokok ngudud 10 batang saja setiap hari, artinya minimal ada 200 kali saat jeda tuma’ninah per harinya. Dua ratus kali setiap hari, Mbak! Nah, bayangkan saja jika ia menempuh hidup seperti itu belasan atau bahkan puluhan tahun. Apakah sampeyan yakin yang demikian itu tidak turut membentuk bangunan bawah sadar dan karakter pribadinya?”

“Bahayanya, Syekh. Pliss, bahayanya…”

“Jadi, ya nggak usah gampang heran kalau banyak pemikir muncul dari kalangan perokok. Sebab perokok itu bukan semacam speedboat yang melesat cepat di permukaan, melainkan lebih dekat dengan sifat kapal selam. Ia bergerak pelan namun pasti di kedalaman. Makhluk-makhluk kapal selam itu terbiasa tenang, jernih mencermati setiap hal, sekaligus punya daya imajinasi tinggi. Maka kita tahu ada Einstein, misalnya. Pastilah ia menemukan Teori Relativitas, serta teori bahwa semesta berbentuk melengkung, saat ia leyeh-leyeh sambil kebal-kebul dengan pipa cangklongnya. Ada juga Sartre, Albert Camus, Derrida, Sigmund Freud, yang semua-muanya menempa ngelmu tuma’ninah-nya lewat asap tembakau. (Mojok.co: Subhanallah, Inilah Rahasia Kecerdasan Kaum Perokok)
Walah-walah saya jadi geleng-geleng, Syekh itu benar. Rokok memang berbahaya, imajinasi yang timbul dari efek asap tembakau dapat menghasilkan teori-teori filsafat dari eksistensialis sampai physcoanalisis. Dan ketuma'ninahan para perokok tersebut berdampak besar pada pemikiran-pemikiran mereka yang revolusioner. Sayapun menghisap rokok sampoerna kretek dengan tum'ninah sehingga dapat menulis paper ini.

Akhirulkalam saya dapat menyimpulkan mengapa para Mahasiswa dan Mahasiwi filsafat banyak yang merokok. Tekanan yang mereka hadapi di dunia perkuliahan baik saat membaca buku-buku tebal yang berwarna kuning sampai kegelisahan sarjana filsafat mau bekerja di mana seolah-olah membutuhkan pelampiasan. Mereka butuh merefleksikan kebebasan pikiran dengan bantuan rokok. Dari pada melinting ganja atau nyabu, rokok dirasa pas untuk memunculkan gagasan-gagasan baru dalam berpikir kritis. Pesan saya satu untuk para perokok di filsafat, tolong kalau saya tidak punya rokok berbaik hatilah kepada saya. Satu batang saja tidaklah mengapa. Toh Anda dapat pahala dan saya juga dapat merilekskan kembali otak saya. Oh iya jangan lupa, nanti puntung rokoknya dibuang di tempat sampah yaaa!!!.

Oleh : Muhammad Nur Alam Tejo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib