Ada 8 corak filsafat
Cina modern-kontemporer
-
Antroposentris-Humanis
- This worldly
- Demokratis
- Pragmatis
- Ingin tahu segala
sesuatu
- Filial
piety/kekerabatan
- Harmoni dan
keseimbangan
Zen Budhisme
Filsafat Cina
modern-kontemporer dimulai saat masuknya Zen Budhisme di Cina. Nama lain dari
Zen Budhisme adalah Tibetan Budhisme yang sekarang dipimpin oleh orang bergelar
Dalailama. Zen Budhisme diterima dengan mudah karena masyarakat pada saat itu
sedang krisis pemikiran dan tidak puas dengan pemikiran klasik. Zen Budhisme
merupakan penganut aliran Mahayana yang mengajarkan tentang Budha dan Nirwana
yang diajarkan oleh para Bodhisattwa. Orang yang pertama kali mengembangkan Zen
Budhisme di Cina adalah Bodhi dharma (5 M). Beliau merupakan tokoh utama, tokoh
sentral dalam perkembangan Zen Budhisme di Cina.
Pada saat itu
terbentuklah dikotomi dalam agama/filsafat di Cina yaitu yang populer (the
great) dan yang tidak populer (the folk/the little). Untuk filsafat yang
populer terdapat tiga anggota yaitu Konfusianisme, Taoisme dan Zen Budhisme.
Sementara yang tidak populer merupakan sisanya seperti Mohisme dan sebagainya.
Dalam prosesnya muncul
berbagai kritik terhadap Zen Budhisme dari filsafat populer lain. Kritik yang
diutarakan oleh filsafat populer lain adalah Zen Budhisme hanya bersifat
menghibur diri sehingga tidak menyelesaikan permasalahan ekonomi, hanya bisa
dipercaya, bertentangan dengan prinsip this worldly. Dari kritik tersebut,
muncul sintesis antara filsafat populer selain Zen Budhisme yang menamai
dirinya Neo-Konfusianisme dan Neo-Taoisme.
Neo-Konfusianisme
Neo-Konfusianisme
merupakan sintesis antara Konfusianisme dan Taoisme. Pemikiran ini muncul dalam
rangka memperbaharui pemikiran Konfusius agar sesuai zaman. Selain itu juga
merupakan reaksi atas kedatangan serta berkembangnya Zen Budhisme.
Inti ajaran
Neo-Konfusianisme adalah manusia harus mengikuti hukum Tao dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Selain itu, pemikiran ini juga berpendapat bahwa
segalanya bersumber dari Tao dan Li. Selanjutnya inti ajaran ini dikembangkan
oleh beberapa tokoh yang selanjutnya akan dibahas lebih lanjut.
Chou Tun Ji
(1017-1073)
Tokoh ini mencoba
menyintesiskan pemikiran Taoisme yaitu Tao dengan Konfusianisme yaitu Zen-Yi.
Menurut beliau, Tao adalah simbol ketiadaan. Sedangkan Zen-Yi adalah simbol
keberadaan.
Menurut beliau, Zen-Yi
merupakan bagian dari Tao. Beliau mengganti nama Zen-Yi dengan Chi yang berarti
prinsip material. Sedangkan Tao sendiri memiliki prinsip immaterial yaitu Li.
Dari sini beliau menekankan bahwa kita harus mengembangkan Chi agar sesuai
dengan Li. Contohnya seperti saat kita membuat meja, maka kita harus mengembangkan
bentuknya agar sesuai dengan prinsip awalnya yaitu berfungsi untuk menulis.
Chang Tsai (1020-1077)
Menurut beliau, alam
semesta merupakan satu kesatuan antara Li dan Chi. Selanjutnya satu kesatuan
dari Li dan Chi tersebut diwujudkan, diekspresikan, dimanifestasikan dalam
banyak benda di alam semesta ini.
Manusia agar bahagia
maka harus berhubungan dengan benda. Dalam berhubungan dengan benda, maka
manusia harus memahami Li benda. Dalam memahami Li benda, manusia harus
memahami Li dan Chi dirinya sendiri. Contohnya untuk memahami sepeda motor,
maka manusia harus memahami bahwa manusia membutuhkan energi (makan) sehingga
sepeda motorpun juga membutuhkan energi (bensin).
Chang Ho (1032-1085)
Pemikiran beliau
dipengaruhi oleh Taoisme dan Budhisme. Beliau berpendapat bahwa Jen hanya
bersifat metafisik (angan-angan). Sehingga Jen memerlukan realisasi dari
manusia agar menjadi konkrit. Tentu realisasi ini pasti baik karena kodrat
manusia adalah baik.
Cheng Yi (1033-1107)
Beliau juga membahas
Jen seperti Chang Ho. Berbeda dengan Chang Ho, menurut beliau Jen merupakan hal
yang kongkrit yaitu hal yang dilakukan secara nyata. Menurut beliau Jen
memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan Jen merupakan bukti dari kesatuan
antara alam semesta dengan manusia.
Menurut beliau,
manusia untuk mencapai kebahagiaan harus memahami Li dan Chi. Dilain sisi,
manusia memiliki Jen yang di dalamnya terdapat prinsip Li dan Chi pula. Maka
dari itu, manusia hendaknya memahami Li dan Chinya sendiri terlebih dahulu
sebagai proses mencapai kebahagiaan.
Chu Tsi (1132-1228)
Menurut beliau alam
semesta dan manusia memiliki Li dan Chi masing-masing. Untuk bahagia, manusia
harus mengetahui Li dan Chinya terlebih dahulu. Namun, Li dirinya merupakan
bagian dari Li yang lebih besar yaitu alam semesta. Sehingga manusia juga harus
menyelidiki Li yang terdapat di dalam alam semesta. Namun pada praktiknya,
manusia tetap saja menderita karena Li masih dicengkram oleh Chi. Maka dari
itu, manusia harus belajar untuk melepaskan diri dari Chi terlebih dahulu.
Lu Shiang Shau / Lu
Chio Yuan (1139-1193)
Menurut beliau yang
nyata hanyalah Li. Chi hanya ilusi. Sehingga manusia harus mengikuti Li dan
membuang jauh-jauh Chi.
Wang Yao Ming / Wang
Shau Jen (1472-1529)
Melanjutkan Lu Shiang
Shau bahwa manusia mempunyai pikiran. Pikiran adalah Li. Li pasti baik karena
kodrat manusia adalah baik. Maka dari itu pengetahuan hendaknya menyingkirkan
penghalang pikiran. Dengan cara tidak menyelidiki Chi.
Reaksi atas
Neo-Konfusianisme
Dari beberapa tokoh di
atas muncul beberapa tokoh yang justru mengkritik dan menentang
Neo-Konfusianisme. Tokoh reaksi ini justru ingin meluruskan kembali pikiran
Neo-Konfusianisme agar kembali mengikuti prinsip-prinsip yang diajarkan oleh
Konfusius.
Huang Hsung Tsi
(1610-1695)
Beliau memulai
argumennya dari fenomena bahwa negara adalah milik kaisar. Sehingga rakyat
dianggap sebagai tamu. Padahal Konfusius mengajarkan bahwa negara adalah milik
rakyat dan kaisar adalah pembantu yang melayani rakyat. Lalu beliau mengatakan
bahwa yang dimaksud Li oleh Konfusius adalah etiket kaisar terhadap rakyatnya.
Dengan merubah pandangan terdahulu bahwa Li dianggap sebagai Tata Upacara
mengagungkan kaisar. Dari sini beliau mengatakan bahwa Neo-Konfusianisme telah
berjalan terlalu jauh dari prinsip yang diajarkan oleh Konfusius.
Yen Yuan (1635-1784)
Beliau berpendapat
bahwa Neo-Konfusianisme justru sama saja dengan Zen Budhisme yaitu tidak dapat
memberikan kemajuan secara nyata karena terlalu fokus pada dunia lain. Maka dari
itu beliau mencoba untuk mengembalikan Neo-Konfusianisme kepada prinsip
Konfusius dengan menganjurkan pajak tanah sesuai prinsip Konfusius.
Beliau mengkritik Chu
Tsi, dengan menyatakan bahwa Li dan Chi adalah satu kesatuan yang kongkrit.
Sehingga mereka tidak bisa dipisahkan.
Tai Chen (1724-1777)
Beliau menolak dengan
keras konsep Li karena Li merupakan sesuatu yang tidak tampak dan justru Li
yang merupakan ilusi. Beliau menyatakan bahwa Li digunakan oleh penguasa untuk
membodohi rakyat (dalam konteks ini Li adalah konstitusi) dan mendoktrin rakyat
bahwa Li tidak boleh diubah. Dari serangkaian prosesnya akan tercipta
pemerintahan yang otoriter. Padahal pemerintahan yang otoriter bukan ajaran
Konfusius dan bertentangan dengan ajaran Konfusius.
Beliau mendukung penuh
perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut beliau pengetahuan haruslah empiris dan
rasional. Hal tersebut mengikuti prinsip yang dikemukakan oleh Konfusius dan
Mencius.
Menurut beliau, Neo-Konfusianisme
terlalu dipengaruhi oleh Zen Budhisme. Zen Budhisme mengajarkan bahwa manusia
harus menghalangi perbuatan, menghapus hawa nafsu dan keinginan karena sumber
penderitaan. Padahal Konfusius berpendapat bahwa hawa nafsu tidak boleh
dihapus. Namun, hawa nafsu haruslah dikendalikan secara rasional dan disalurkan
secara empiris serta baik. Dari hal tersebut beliau menyatakan bahwa
Neo-Konfusianisme telah berjalan terlalu jauh dari prinsip awalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar