Maaf aku tak bisa menghadiri pernikahanmu!
"Verbrennen musst du dich wollen in deiner eignen Flamme: wie wolltest du neu werden, wenn du nicht erst Asche geworden bist!"
(Friedrich Nietzsche)
Menggigil aku: diammu meremas penuh semua pejuh dan memeras peluh di sekujur tubuh
Lalu waktu menghangatkan ingatan akanmu, untuk disajikan lagi saat sarapan di atas piring-piring sunyi
Menggigil aku: gesekan perkenalan kita percikan api, perlahan membakar diriku, mencekam, menerkam, menyekam dalam diam
Lalu waktu menaggalkan tanggal demi tanggal menghapus khayal untuk tidur satu bantal.
Karena lidah tak bisa memanjang, aku menjulur-julur menjilat gincu-merahmu serta bibir-kumisku mengulum bibir-diammu: mencoba mencari perasaan yang kau sembunyikan
Lama masanya, reruntuhan tanya perlahan jatuh dan meretakan batok kepalaku.
sebuah ancaman dari bahasa lain yang tak kalah diamnya darimu memaksaku membakar diri: menyadarkanku akan hiasan ukiran di kursi pelaminanmu
Bagaimana bisa aku berinkarnasi tanpa kubakar diri?
bagaimana lagi kusapa engkau dengan salam jika aku tak lebih dulu menyekam. (Seperti berabad-abad diammu!)
Kini, dara yang diharap telah tiada, seseorang mematahkan ranting-ranting yang tumbuh di hatiku: melemparkannya pada tungku penyesalan.
Aku menyesal mengenalmu!
Bagaimana bisa aku berinkarnasi tanpa membakar diri?
Aku diam, pamitan... lihatlah sekam!
Yogya-Bandung, 27 Maret 2016
(Friedrich Nietzsche)
Menggigil aku: diammu meremas penuh semua pejuh dan memeras peluh di sekujur tubuh
Lalu waktu menghangatkan ingatan akanmu, untuk disajikan lagi saat sarapan di atas piring-piring sunyi
Menggigil aku: gesekan perkenalan kita percikan api, perlahan membakar diriku, mencekam, menerkam, menyekam dalam diam
Lalu waktu menaggalkan tanggal demi tanggal menghapus khayal untuk tidur satu bantal.
Karena lidah tak bisa memanjang, aku menjulur-julur menjilat gincu-merahmu serta bibir-kumisku mengulum bibir-diammu: mencoba mencari perasaan yang kau sembunyikan
Lama masanya, reruntuhan tanya perlahan jatuh dan meretakan batok kepalaku.
sebuah ancaman dari bahasa lain yang tak kalah diamnya darimu memaksaku membakar diri: menyadarkanku akan hiasan ukiran di kursi pelaminanmu
Bagaimana bisa aku berinkarnasi tanpa kubakar diri?
bagaimana lagi kusapa engkau dengan salam jika aku tak lebih dulu menyekam. (Seperti berabad-abad diammu!)
Kini, dara yang diharap telah tiada, seseorang mematahkan ranting-ranting yang tumbuh di hatiku: melemparkannya pada tungku penyesalan.
Aku menyesal mengenalmu!
Bagaimana bisa aku berinkarnasi tanpa membakar diri?
Aku diam, pamitan... lihatlah sekam!
Yogya-Bandung, 27 Maret 2016
Buat: Nadra...
Oleh: Ricky Fadhlan
Oleh: Ricky Fadhlan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar